Pusat Kota Bandung Perlu Hutan?
Oleh:
Herry Dim untuk #saveXpalaguna
Tindakan
mengejar keuntungan dengan mengorbankan alam dan peradaban, bukanlah
pembangunan melainkan perusakan. Hal ini tidak boleh dibiarkan, karena
peradaban Suku Naga lebih matang dan dewasa daripada peradaban
yang akan dipaksakan kepada mereka.
(Rendra, petikan dialog pada naskah "Kisah
Perjuangan Suku Naga," manuskrip, Yogya, 19 Juli 1975)
![]() |
AREA hijau di tengah adalah titik alun-alun barat, itu pun berupa rumput sintetik yang berarti hijau artifial. #saveXpalaguna |
IZINKAN
tulisan ini hendak memulai dengan pertanyaan: perlukah “hutan kota” di pusat
kota Bandung?
Untuk
menjawab pertanyaan tersebut, di zaman sekarang ini, kiranya tidaklah rumit.
Setiap orang yang memegang ponsel cerdas, kini, bisa segera melihat kenyataan
langsung melalui layanan peta google
atau semacamnya. Setelah itu, tidaklah perlu pula dimulai dengan kerumitan
teoritik sebab dengan pandangan awam pun akan segera terjawab, bahwa kawasan
pusat kota Bandung yang berorientasi ke alun-alun itu sudah demikian padat.
Nyata sudah penuh dengan bangunan. Satu-satunya yang masih tampak hijau adalah
area alun-alun, itu pun seperti dimaklumi oleh hampir seluruh penduduk kota
Bandung, hijaunya bersifat artifisial, bukan hijau yang sebenarnya melainkan
dihijaukan dengan rumput sintetik.
Bermula
pada perubahan terakhir alun-alun Bandung yang terjadi pada tahun 2001, yaitu di
masa pemerintahan H.A.A Tarmana yang kelak berlanjut di masa Walikota Bandung
H. Dada Rosada, M.Si. dan Gubernur Jawa Barat, Drs. H. Danny Setiawan, M.Si., saat
itu Masjid Raya Bandung diperluas, alun-alun diubah jadi berbeton dan di
bawahnya dibangun 2 lantai area parkir, diresmikan pada 4 Juni 2003. Penghamparan
rumput artifisial merupakan inisiatif walikota terkini, Ridwan Kamil, dengan alasan
beton yang kini menjadi penyangga alun-alun, bagaimanapun, tak akan menjadi
tempat tumbuhnya rumput secara alamiah. Maka sejak 2014/15 wajah pelataran
alun-alun Bandung pun berubah.
Lingkungan Kota-kota di
Dunia
Lintasan
pembuka di atas, itu sekadar untuk menyingkap gambaran bahwa sejatinya kawasan
alun-alun itu sudah tidak memiliki lagi ruang terbuka hijau, kecuali sedikit
saja di pelataran Pendopo Kota Bandung yang terletak di sebelah selatan
alun-alun. Keadaannya sudah nyata mengkhawatirkan (untuk tidak dikatakan sudah
gawat).
Ledakan
perkembangan kota yang terjadi di Bandung sesungguhnya tidaklah menyendiri melainkan
telah menjadi perkara kota-kota di seluruh dunia. Kegawatan tersebut mendorong
PBB melalui SGD (Keberhasilan Pembangunan Berkelanjutan), menyelenggarakan konferensi
besar demi masa depan kota-kota dunia, September 2015, yang selanjutnya dikenal
dengan sebutan Habitat III. Seluruh
delegasi merumuskan kerangka kerja baru yang akan mengatur dunia berdasar
diskursus pembangunan perkotaan yang berkelanjutan dengan menyusun ulang
perencanaan dan pengelolaan yang laik huni. Rumusan tersebut menjadi kesepakatan yang disetujui 193 negara
anggota PBB. Habitat III pada
gilirannya diharapkan menjadi pedoman kerja para walikota, otoritas lokal dan
regional, masyarakat sipil, komunitas-komunitas, dan para perencana kota.
Sementara salasatu kerangka strategisnya itu sama atau saling-rujuk dengan
Kesepakatan Hutan Internasional (The
International Arrangement on Forests), Agenda 2030, dan Kesepakatan Paris
yang menempatkan titik tekan pemaknaan “keberlanjutan” itu pada keberadaan
hutan-hutan.
Baik
berkait dengan kesepakatan di atas atau pun atas kesadaran sendiri, kota-kota
di dunia pun bangkit seperti berlomba untuk memperbaiki diri. Sebut misalnya
Tokyo yang demikian sibuk, bahkan di area metropolitannya terus-menerus
ditanami pohon dan berbagai tanaman urban. Hong Kong mengembangkan program
pengendalian erosi tanah, memperbaiki daerah lahan kritis di pinggiran
perkotaan, sekaligus meningkatkan tempat-tempat rekreasi ekologis. Singapura
memang sejak pertumbuhannya telah menanamkan kebijakan hutan kota (urban forestry policies) sehingga dengan
yakin memaklumatkan diri sebagai ‘kota tropis yang unggul dan hijau.’ Shanghai
yang semula dikungkung masalah pencemaran udara, kini mengembangkan moda hutan
kota bahkan telah berhasil membangun taman baru di pusat kota. Sydney yang
semula mengalami masalah pencemaran pesisir karena perkembangannya yang pesat, sejak
20 tahun terakhir melakukan kontrol pesisir dan konservasi air. Pemerintahannya
bahkan memberlakukan reformasi harga air, dan melibatkan masyarakat dalam
menjalankan strategi lingkungan. Dubai, tidaklah kalah menarik, antara lain
mengembangkan prinsip-prinsip etik lingkungan hidup yang berlaku di dalam
ajaran Islam.
![]() |
CONTOH hutan kota di Hong Kong. #saveXpalaguna |
Demikian
sekadar contoh-contoh alakadarnya. Kota-kota yang disebut di atas itu tak lain
merupakan kota niaga yang termasuk kategori tersibuk di dunia. Tapi kiranya
mereka menyadari bahwa tak mungkin lagi mempertahankan apalagi mengembangkan
perekonomian atau perdagangan jika tanpa memperhatikan keseimbangan habitatnya.
Dunia kian menyadari bahwa hutan kota atau taman-taman alamiah, itu memiliki
manfaat sosial-ekonomi, psikologis, rekreasi, dan kehidupan satwa.
Hutan Kota di Eks
Palaguna
Pusat
kota Bandung (kawasan alun-alun) pun tak jauh berbeda, sejak awal
pertumbuhannya membentuk diri menjadi kawasan komersil atau kawasan
perdagangan. Secara teoritik atau pun fakta kasat mata, kawasan alun-alun
tampak nyata sudah terlalu padat, tak mungkin lagi menahan beban bangunan. Namun
anehnya ada selentingan, bahwa pada lahan eks Palaguna akan dibangun kembali
bangunan vertikal. Pemerintahan provinsi selaku pemilik aset dan pemerintahan kota
selaku pemegang otoritas perizinan telah bergandengan dengan pemodal, mereka
sudah bergerak untuk membangun mal, apartemen, dan rumah sakit.
![]() |
JIKA eks Palaguna tak diselamatkan, kelak akan hadir gedung bernama Bandung Icon yang dibangun oleh PD Jawi bersama pemodal Lippo Group.* #saveXpalaguna |
Padahal,
baik dari sisi alasan seperti terurai di atas atau pun berdasar sisi
kesejarahan dan budaya, idealnya lahan eks Palaguna yang kebetulan kini telah
rata dengan tanah itu dikembalikan menjadi “penyeimbang” kehidupan kota secara
keseluruhan. Akan elok sekali jika di sana menjadi hutan atau taman kota,
sekaligus menjadi wahana untuk “ngamumule” kembali sumur Bandung yang ditandai
oleh Raden Adipati Wiranata Kusumah II pada 25 Mei 1811.
Raden
Adipati Wiranata Kusumah II menerakan teks: Sumur
Bandung méré karahayuan ka Dayeuh Bandung // Sumur Bandung kahayuning Dayeuh Bandung. Itu adalah teks pusaka,
tak lain merupakan doa bagi kota Bandung dengan penanda berupa sumur Bandung.
Untuk sementara penulis tidak menyertakan teks “ayana di Gedung PLN Bandung” yang kemungkinan besar merupakan
tambahan, mengingat N.V. GBO yang kemudian menjadi gedung PLN tersebut baru
berdiri/diresmikan pada 26 Oktober 1939.
Ada
beberapa versi pendapat tentang letak sumur Bandung. Frances B. Affandy dan Andi
Abubakar (2003), misalnya, menyebut sumur yang muncul dari jejak tancapan
tongkat R.A.A Wiranatakusumah itu terletak di sebelah selatan Pendopo Kabupaten
Bandung, ada pula pendapat bahwa sumur tersebut terletak di area bekas bangunan
gedung Miramar yang kini telah kembali rata bersamaan dengan eks Palaguna, dan
yang sementara ini paling dikenal yaitu di dalam bangunan gedung PLN.
Penulis,
untuk sementara, berpihak kepada pendapat yang menyebut bahwa sumur Bandung itu
terletak di area bekas bangunan gedung Miramar atau kawasan eks Palaguna
sekarang ini. Dasar asumsinya bahwa R.A.A Wiranatakusumah menancapkan tongkat
dan Daendels yang juga menancapkan tongkat sebagai patok atau tugu penanda kilometer
"nol" kota Bandung, itu berindikasi “perlawanan” urang Bandung terhadap kuasa Hindia Belanda, dan atau semacam
“perang kekuasaan” secara simbolik.
Itu,
tentu saja, pelu digali kesejarahannya secara serius. Namun sebatas tulisan
ini, cukuplah untuk mengatakan bahwa tiga titik sumur Bandung itu kiranya
bukanlah tempat samanea. Jika
pemerintahan provinsi Jabar dan pemkot Bandung yang bertrio dengan pemodal itu
tetap bersikeras membangun kembali lahan eks Palaguna menjadi gedung tinggi,
bersiaplah untuk menerima segala mamala.***
(Herry Dim, seniman, pemerhati kebudayaan, eseis, tinggal di Bandung)
- - - - - - - - -
Dimuat di Opini “Pikiran Rakyat,” halaman 26, 3
Februari 2017.
Komentar
Posting Komentar