Amal Berkelanjutan bagi Kota Bandung
Oleh: Herry Dim
RIDWAN
Kamil di hari ke 44 menjabat Wali Kota Bandung, sempat bersikap cerdas dan
tegas sehubungan penebangan pohon dengan semena-mena di depan Hotel Ibis Braga
dan bangunan di jalan Sumbawa. Seperti dilansir sejumlah media, Kang Emil
(demikian sebutan bagi Ridwan Kamil) antara lain menyatakan: “Kalau pakai
logika, pohon dengan kerimbunan daun sedemikian itu menghasilkan oksigen yang per
tahunnya senilai dengan Rp 1,6 miliar. Satu kilogram oksigen dijual Rp. 20
ribu, jika dikalikan per tahun, lalu dihitung usia pohon 30 tahun, hasilnya
segitu...“
Itu
sekaligus untuk mengantar ucapan terimakasih bahwa kemudian hingga 2017 atau selama
empat tahun kepemimpinannya sebagai Wali Kota Bandung untuk periode 2013 – 2018,
Kang Emil telah merawat taman-taman lama yang kemudian diberi thema dan membuat
taman-taman baru untuk kecantikan kota Bandung. Hingga tulisan ini disusun
setidaknya telah ada 15 taman lama dan baru di kota Bandung yaitu Taman Vanda, Taman
Pustaka Bunga Cilaki, Taman Fotografi, Taman Jomblo (Taman Pasupati), Taman Skate Board, Taman Film, Taman Musik
Centrum, Taman Lansia, Taman Super Hero,
Taman Petpark, Taman Dewi Sartika, Taman
Teras Cikapundung, Taman Balaikota, Taman Cikapundung Riverspot, Taman Cibeunying. Dari 15 taman tersebut, beberapa di
antaranya adalah taman-taman yang menyerupai hutan kota, sekeliling atau di
dalamnya terdapat pohon-pohon besar berusia tua karena memang merupakan
taman-taman warisan zaman Belanda.
Arti Pohon bagi Sebuah Kota
Mengapa
“kadeudeuh” Kang Emil terhadap pepohonan
itu dianggap penting?
Jawaban
termudahnya, mari kita lihat grafis yang saya jiplak dan saya terjemahkan dari
“wawar” resmi FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian) PBB. Grafis tersebut
menyebutkan bahwa satu batang pohon saja bisa menyerap 150 kg CO2
per tahun dan/atau menyerap karbon yang artinya ikut mengurangi akibat
perubahan iklim.
Merujuk
kepada sejumlah kepustakaan terungkap bahwa gas CO2 atau karbon dioksida
itu bersifat membunuh makhluk hidup termasuk manusia. Gas CO (karbon monoksida)
bersifat mengganggu pengikatan oksigen pada darah karena CO lebih mudah terikat
oleh darah dibandingkan dengan oksigen dan gas-gas lainnya. Pada kasus darah yang
tercemar karbon monoksida dalam kadar 70% hingga 80% dapat menyebabkan
kematian. CO2 pun merupakan zat gas yang bersifat meningkatkan suhu
pada suatu lingkungan sekitar kita yang disebut juga efek rumah kaca. Suhu
udara di daerah yang tercemar CO2 niscaya naik menjadi semakin panas
dari waktu ke waktu. Itu terjadi karena CO2 berkonsentrasi dengan jasad
renik, debu, dan titik-titik air yang membentuk awan yang dapat ditembus cahaya
matahari, namun tidak dapat melepaskan panas keluar awan tersebut.
Salah
satu sumber penyumbang karbon dioksida adalah pembakaran bahan bakar fosil, dan
CO diproduksi oleh pembakaran yang tidak sempurna. Gambaran termudahnya adalah
asap yang dikeluarkan lewat knalpot kendaraan bermotor. Setiap kendaraan
bermotor niscaya memproduksi CO2 atau pun CO. Sementara data Dinas
Perhubungan mencatat bahwa kendaraan bermotor yang hilir-mudik di kota Bandung
pada tahun 2012 saja telah mencapai 2,2 juta unit (1,3 juta sepeda motor dan
900 ribu kendaraan roda empat). Jika kita patok pertumbuhannya dengan 11% saja
per tahun, maka pada tahun ini sekitar 3.410.000 kendaraan berjamaah
memproduksi CO2 atau pun CO bagi kota Bandung. Itu cenderung
ditambah lagi dengan kendaraan yang datang dari luar Bandung. Pikiran Rakyat, 24
Desember 2011 misalnya, melaporkan bahwa pada hari biasa rata-rata sebanyak
76.000 kendaraan bermotor masuk ke Bandung per hari melalui lima pintu tol.
Sedangkan untuk akhir pekan biasa mencapai jumlah 160 ribu kendaraan.
Data
atau catatan di atas, tentu jauh dari lengkap, namun kiranya sudah bisa kita
bayangkan jika kota Bandung gundul alias tak memiliki pepohonan yang berfungsi menyerap
karbon; orang Bandung niscaya akan jauh dari bahagia, tekanan darahnya
terus-menerus naik, stress, bahkan
mungkin sakit-sakitan secara fisik.
Taman atau Hutan Kota
di Eks Palaguna
Alasan
karena “deudeuh” (cinta) kepada masyarakat dan kota Bandung itu pula kiranya
yang menggerakan sejumlah seniman, Walhi Jawa Barat, komunitas Bandung Heritage,
Tim Cagar Budaya, BCCF (Bandung Creative
City Forum), dan komunitas Kampung Dago Pojok menyuarakan harapan agar
lahan eks Palaguna itu dijadikan taman/hutan kota. Suara cinta ini ternyata
kian berkembang. Hinga saat catatan ini disusun saja, telah bertumbuhan forum
di kampus-kampus untuk membincangkan dan membahasnya, kalangan pakar mulai
tampak “turun gunung,” pun masyarakat pada umumnya setahap demi setahap bangkit
untuk bersama-sama “ngamumule” kotanya.
Suara
cinta Bandung muncul karena adanya berita bahwa PD Jasa dan Kepariwisataan
(Jawi) yang merupakan perpanjangan tangan Pemprov Jabar, telah bergandengan
dengan PT Titah Raja Jaya (Lippo Group) yang akan membangun mall, hotel dan
rumah sakit di atas lahan eks Palaguna (lihat,
prfmnews,
Selasa 17 Januari 2017, 14:21 WIB). Padahal kawasan alun-alun, kini, sudah
tidak mungkin lagi menanggung beban berupa bangunan beton (lihat, Opini “Hutan
di Pusat Kota,” PR 3 Februari 2017, hal 26). Bukan saja alasan karena kawasan alun-alun
yang sudah “gibug” dan tak lagi memiliki ruang hijau, sejumlah kalangan merasa
berkeberatan karena di sana pun terdapat akar sejarah dan kebudayaan yang
berkait dengan Sumur Bandung, serta akan hilangnya hak publik atas buminya
sendiri karena telah mengalami privatisasi.
Maka,
jangankan ikut menanam dan menghutankan eks Palaguna, bahkan cukup dengan
“deudeuh” dan mendukung cita-cita ini pun sesungguhnya, insya Allah, akan
menjadi amal kebaikan bagi Bandung yang berkelanjutan, akan sampai ke
anak-cucu, dari generasi ke generasi mendatang; yang artinya amal panjang bagi
kemanusiaan. Itu pula yang disuarakan teman-teman pergerakan #saveekspalaguna
di antara langkah “tekrah-tekrih”nya.*
Komentar
Posting Komentar