Paradigma Budaya Eks Palaguna

Oleh: Herry Dim untuk #saveXpalaguna

RADEN Adipati Wiranata Kusumah II menancapkan tongkat seraya berkata: Sumur Bandung méré karahayuan ka Dayeuh Bandung // Sumur Bandung kahayuning Dayeuh Bandung. (Sumur Bandung memberikan kehidupan baik bagi Kota Bandung // Sumur Bandung memperindah Kota Bandung). Itulah yang menjadi legenda Sumur Bandung sebagai tanda bermulanya alun-alun dan keberadaan kota Bandung pada umumnya. Pada teks yang tertera di gedung PLN yang mengeklaim bahwa di sanalah tempatnya Sumur Bandung terdapat kalimat tambahan “ayana di gedung PLN Bandung” (berada di gedung PLN Bandung), itu bisa dipastikan merupakan tambahan mengingat R.A. Wiranata Kusumah II mengucapkannya pada 25 Mei 1811 atau seratus tahun sebelum gedung itu berdiri menjadi Gemeenschapplijk Electriciteitbedrijf en Omstreken voor Bandoeng (Perusahaan Listrik Lingkungan Bandung) yang diresmikan pada 26 Oktober 1939. Pun tentang titik Sumur Bandung, sekurang-kurangnya ada tiga pendapat yaitu di sebelah selatan Pendopo Bandung, di area bekas bangunan gedung Miramar yang kini telah kembali rata bersamaan dengan eks Palaguna, dan yang  paling dikenal yaitu di dalam bangunan gedung PLN. (lihat, Pikiran Rakyat, Hutan di Pusat Kota, halaman 26, 3 Februari 2017).  
Itu semua pelu dilacak secara khusus ihwal kesejarahannya, tulisan ini selanjutnya hanya akan mecoba melihat kawasan alun-alun dan khususnya lahan eks Palaguna dari sisi budaya. Pada tulisan lain akan dilihat pula berdasar paradigma ekonomi dan paradigma ekologis.
KAWASAN alun-alun Bandung, kiri alun-alun timur (eks Palaguna), kanan alun-alun barat, dan alun-alun selatan. Foto dari H.U. Pikiran Rakyat. #saveXpalaguna


Sisi Budaya

BAHKAN ketika hanya menyebut kata “alun-alun” saja, sesungguhnya telah berkenaan dengan konteks budaya yang ternyata merata di seluruh Nusantara. Dari Aceh sampai Merauke atau dari Tarakan sampai Bandung, itu masing-masing memiliki tradisi dan kebudayaan alun-alun. Untuk memahami keberadaan alun-alun secara keseluruhan, tentu perlu kehendak bangsa dan negara ini agar menelitinya secara seksama. Namun sebatas yang bisa kita ketahui di pulau Jawa, terbukti bahwa keberadaan alun-alun itu senantiasa berkenaan dengan kosmik, kesemestaan, atau kosmologi jagat alit (mikrokosmos) dan jagat ageung (makrokosmos). Selalu ada latar bawah sadar kolektif (archetype) ihwal hubungan mikrokosmos dan makrokosmos yang melandasi penentuan lokasi alun-alun. Demikian halnya dengan alun-alun Bandung ketika ditentukan titik pusatnya oleh Raden Adipati Wiranata Kusumah II yang kemudian dikenal pula dengan panggilan Dalem Kaum.
Jika pada alun-alun Surakarta atau Jogyakarta orientasi awalnya adalah sistem kekuasaan Raja/Sultan atas suatu wilayah tertentu, baru kemudian mencakup tujuan harmonisasi antara dunia nyata (mikrokosmos) dan universum atau makrokosmos (lihat, Jo Santoso, Arsitektur Kota Jawa: Kosmos, Kultur & Kuasa, 2008). Uniknya Dalem Kaum tidak bermula dari kuasa dirinya, melainkan dimulai dengan “membaca” makrokosmos yang kelak diharapkan melindungi dan menghidupi mikrokosmos. Kesadaran itu, kiranya, yang mendorong dirinya melakukan perjalanan panjang menelusuri sungai Cikapundung, hingga akhirnya menemukan tempat yang dianggap memenuhi kategori pepatah Sunda yaitu “Garuda Ngupuk.”
Garuda Ngupuk atau garuda dengan kedua sayap merangkul, menurut kepercayaan masyarakat Sunda adalah kondisi lahan yang baik untuk pusat pemerintahan. Pola inilah yang dijadikan dasar oleh Dalem Kaum untuk menentukan letak alun-alun Bandung yang terdiri atas alun-alun barat dalam pelukan sayap kiri, alun-alun timur dalam pelukan sayap kanan, dan selatan (badan dan ekor) sebagai sumber kebijaksanaan. Jadi tanpa alun-alun utara karena prinsip kepala sang garuda menghadap ke cakrawala Tangkuban Parahu. Kalimat lengkapnya yaitu: "garuda ngupuk tanah hadé, bahé ngalér-ngétan, deukeut pangguyangan badak putih" (letak lahannya seperti garuda merangkulkan sayap ke tanah subur, landai dari arah barat daya ke arah timur laut dan berdekatan dengan sumber air). Yang dimaksud sumber air itu Sumur Bandung, dan "pangguyangan badak putih" itu tak lain adalah sungai Cikapundung. Pola garuda ngupuk manakala diterakan pada peta lama (sesungguhnya bisa juga pada peta baru), ternyata pas dengan kenyataan sesungguhnya.


Garuda Ngupuk dalam motif batik. #saveXpalaguna

Garuda Ngupuk dan maknanya. #saveXpalaguna


Bayangkan, awal mula orientasi alun-alun Bandung itu adalah ci nyusu (mata air) yang kemudian menjadi Sumur Bandung dan (ci)kapundung, setelah itu barulah menentukan lokasi pendopo seperti yang masih kita lihat keberadaannya hingga sekarang.
Prinsip garuda ngupuk tanah hadé, itu menyimpan banyak hal yang sesungguhnya bisa kita kupas, tapi demi ringkasnya, satu hal saja bahwa sayap garuda yang merangkul itu mengacu kepada satu kawasan; sayap kanan merangkul alun-alun timur dan sayap kiri merangkul alun-alun barat. Alun-alun timur adalah kawasan eks Palaguna dan alun-alun barat adalah alun-alun sekarang termasuk mesjid, sementara wajah garuda menghadap gunung Tangkuban Parahu yang kini terhalang gedung BRI.
Ringkasnya bahwa alun-alun Bandung sejatinya berkenaan dengan mikrokosmos dan makrokosmos, berupa satu kawasan yang terdiri atas alun-alun timur, barat, dan selatan (lihat, T Bachtiar, Kembali ke Alunalun Bandung, Pikiran Rakyat, Sabtu, 18 Februari 2017). Jika kemudian ada pemetaan lain misalnya di utara adalah penjara (Banceuy yang kini pun sudah tidak ada) dan di bagian lain mesti ada pasar, sesungguhnya lebih berdasar kepada moda kekuasaan pemerintahan Belanda saat itu. Demikian halnya ketika bioskop Elita dibangun pada 1910 di kawasan eks Palaguna sekarang, tak lain merupakan konsep kuasa Belanda mengingat angka tahunnya pun jelas sebelum Indonesia merdeka. Sejak itu pula sang garuda alun-alun Bandung kehilangan sebelah sayapnya.
Akan terlalu panjang jika kita melacak pula ihwal seni, politik, dan kebudayaan pada umumnya sejak R. Sunarya Kusumadinata mengembangkan ibing Keurseus pada 1930an di pendopo atau pun peristiwa KAA 1955, namun dengan ini pun mudah-mudahan cukup terlihat bahwa kawasan alun-alun timur, barat, dan selatan itu adalah kawasan budaya yang sepatutnya dilindungi.
Sebagai penutup, meski bersifat spekulatif tapi ada baiknya dicatat, bahwa di area eks Palaguna itu berkali-kali berdiri bangunan tapi berkali-kali pula “hilang” seperti kenyataan sekarang. Demikian halnya dengan gedung BRI yang demikian tinggi dan sesungguhnya bagus secara arsitektural sekaligus berada di pusat kota, tapi nyatanya selalu sepi. Mungkinkah ini karena terganggunya makrokosmos?
Sekali lagi, itu semata logika spekulatif. Namun nyatanya kini eks Palaguna sudah kosong, ini adalah momen terbaik bagi seluruh warga Bandung serta pemerintahnya untuk kembali ke prinsip budaya, prinsip “garuda ngupuk.” Semoga menjadi berkah dan kota Bandung tidak menjadi kota yang tidak jamuga.***


Garuda Ngupuk diterakan pada peta kawasan alun-alun Bandung. #saveXpalaguna


(Herry Dim, seniman, pemerhati kebudayaan, penulis, tinggal di Bandung)




__________
Tulisan ini dimuat “Pikiran Rakyat,” 22 Februari 2017, dengan judul dari redaksi menjadi “Menyoal Eks Palaguna”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tak Ada Lagi "Awi jeung Gawirna," Banjir dan Longsor pun Berdatangan

Harry Roesli Sang Jenius Monumen Musik Indonesia