Tak Ada Lagi "Awi jeung Gawirna," Banjir dan Longsor pun Berdatangan
(Lima Catatan Herry Dim)
LEMBAR halaman “Jawa Barat” H.U. Pikiran Rakyat, 24 Oktober 2016, menurunkan tiga berita yang berkenaan dengan pergerakan tanah, longsor dan banjir. Empat bencana terjadi di Cianjur Selatan yang bukan saja memakan korban jiwa dan kerusakan yang cukup besar, diberitakan pula bahwa berdasar data Badan Meteorologi Klimatologi Geofisika (BMKG) masih terdapat delapan titik zona merah di wilayah setempat. Longsor dan banjir lainnya diberitakan terjadi di wilayah Kecamatan Palabuhan Ratu, sementara judul berita lainnya yaitu “92 Persen Kecamatan (di Kabupaten Tasikmalaya) Rawan Pergerakan Tanah.” Begitulah, setelah banjir dan longsor di Garut dan Sumedang, Jawa Barat kiranya mesti siaga.
LEMBAR halaman “Jawa Barat” H.U. Pikiran Rakyat, 24 Oktober 2016, menurunkan tiga berita yang berkenaan dengan pergerakan tanah, longsor dan banjir. Empat bencana terjadi di Cianjur Selatan yang bukan saja memakan korban jiwa dan kerusakan yang cukup besar, diberitakan pula bahwa berdasar data Badan Meteorologi Klimatologi Geofisika (BMKG) masih terdapat delapan titik zona merah di wilayah setempat. Longsor dan banjir lainnya diberitakan terjadi di wilayah Kecamatan Palabuhan Ratu, sementara judul berita lainnya yaitu “92 Persen Kecamatan (di Kabupaten Tasikmalaya) Rawan Pergerakan Tanah.” Begitulah, setelah banjir dan longsor di Garut dan Sumedang, Jawa Barat kiranya mesti siaga.
Bambu gombong (Foto dari
berbagai sumber).*
Bambu hitam (Foto:
HDim).*
Bambu kuning (Foto dari berbagai sumber).*
Dari Tusuk Sate hingga Seni Instalasi
Bambu
berperanan penting bagi ekonomi lokal dan kian berkembang pula menjadi komoditi
nasional dan internasional, di wilayah Asia-Pasifik. Masing-masing digunakan
untuk berbagai kepentingan, data yang sejauh ini terdokumentasikan mencatat
bahwa ada 1.500 kegunaan bambu. Pemanfaatan tradisional yang paling utama
antara lain adalah untuk perumahan, makanan, dan kriya. Di seluruh dunia
terdapat sekitar 2.5 milyar orang yang terlibat dalam perdagangan atau
penggunaan bambu (INBAR 1999). Teknologi pabrikan modern membuka jalan bagi
industri bambu yang menyerupai fungsi kayu (timber-based
industries), hingga mampu menyediakan produk bambu untuk lantai, dinding,
laminasi, dan furnitur. Bambu pun menjadi substitusi/pengganti kayu bagi
pembuatan bubur (pulp) bahan kertas;
sekira 25% serat yang setiap tahun digunakan pada industri kertas di India, itu
berbahan dasar bambu (FAO 1998). Iwung (Sunda),
rebung (Ind), atau tunas bambu diketahui pula menjadi
bahan makanan penting di sejumlah pasar lokal bahkan internasional. Cina
termasuk negeri pertama yang melakukan ekspor produksi rebung, berdasar data
ekspor tahunan nilainya mendekati angka US$ 140 juta (Feng Lu, 2001). Furnitur bambu
pun kian meluas menjadi lahan bisnis berbagai negara; ekspor furnitur bambu
dari Filipina tahun 1998 bernilai US$ 1.4 juta (Vantomme et al. 2002).
Sementara di seluruh dunia, pasar domestik dan aneka ragam penggunaan bambu ditaksir
bernilai tak kurang dari US$ 4.5 milyar per tahun. Ekspor bambu secara global
berada pada kisaran US$ 2.7 milyar (INBAR 1999).
Itu
sekadar gambaran bahwa demikian beragam/multi-fungsinya bambu di dalam
kehidupan masyarakat di dunia. Peradaban atau kebudayaan kita sendiri, memang,
telah mengenal bambu sejak ribuan tahun yang lampau. Jejak peradaban “buhun”
tersebut bahkan sebagian di antaranya masih berlanjut hingga sekarang. Di dalam
peradaban Sunda saja, kita mengenal sejumlah benda, peralatan, makanan yang berbahan dasar
bambu semisal iwung (rebung atau
tunas bambu
untuk bahan makanan), hihid (alat
kipas perapian), aseupan (bagian dari
alat untuk menanak nasi), palupuh (bambu
yang dipecah untuk alas tempat duduk),
besek (wadah nasi/makanan), pipiti (wadah
nasi/makanan), bilik (dinding rumah), nyiru (alat tampi beras), boboko (tempat nasi), ayakan (alat penyaring), taraje (tangga), korang (tempat ikan hasil pancingan), jeujeur (tangkai kail),
sumplit (sumpit), suling (seruling), angklung, karamba (tempat ternak ikan
di sungai), waroge (media upacara
suku Badui), tiir (tusuk sate atau
lainnya), cemped (bagian dari rumah
berupa penjepit dinding), cukang beurit (bagian
rangka silang konstruksi rumah), dampit (rusuk
konstruksi sebuah leuit atau tempat
penyimpanan padi), jungjang (bambu
yang dipalangkan untuk pengikat konstruksi),
rancatan (alat pikul), jambatan (jembatan), usuk (tulang atap rumah), ancak (anyaman bambu tempat penganan), carangka (tempat sampah), ceceting (alat untuk mendulang air), cireung (tempat menyimpan/membawa
ikan), lodong (mainan seperti meriam), kekeba (wadah penganan), kojong (tempat ikan), pengki (tempat sampah), ranggap (kurung ayam), songsong (alat peniup bara api), telebug (tempat barang), tetenong (tempat menyimpan masakan), bubu (perangkap ikan), babalean (tempat bersantai), gatrik (mainan anak-anak menyerupai
kasti), jajangkungan (mainan
anak/berjalan dengan peninggian tubuh),
perang gobang (mainan anak berupa pedang-pedangan); itu untuk menyebut
sebagian saja dari sejumlah benda yang nyaris digunakan sepanjang hari di dalam
kehidupan.
Fungsi atau manfaat
bambu sejak menjadi tusuk sate, penyangga konstruksi bangunan, kriya, alat
musik, bangunan gereja, wadah, jembatan, dan aneka kegunaan lainnya di dalam
kehidupan (Foto: HDim & berbagai sumber).*
Yang paling mengemuka setidaknya dalam 10 tahun terakhir ini adalah
perkembangan arsitektur serta “bahan bangunan” yang berbahan bambu. Berkenaan
dengan itu maka lahir pula sejumlah rancangan arsitektural yang menakjubkan
serta demikian melimpah jumlah kreativitasnya. Berikutnya adalah ragam karya
seni, baik yang terkategorikan seni murni atau pun seni terapan di ruang publik
hingga berbagai bentuk kriya.
Sebut misalnya rumah-rumah bambu atau lebih tepatnya tenda-tenda
persinggahan yang dirancang dan direalisasikan oleh arsitek Ming Tang di Cina. Rancang
yang kemudian menjadi pemenang “WA Awards, 4th Cycle 2009” ini berdasar kepada
gagasan sekaligus kebutuhan rumah singgah bagi korban gempa bumi yang terjadi
di Sichuan, Cina, pada 2008. Bisa kita lihat bagaimana menariknya karya Ming
Tang ini secara visual, pola strukturnya struktur unik, serta kisi-kisi cahaya
dari efek bahan bambu tersebut. Tak kalah menariknya bahwa rancangan ini
ternyata memikirkan struktur berkelanjutan, bangunan dapat dilipat dan dibuka
dengan mudah, sehingga fungsional sekali sebagai tempat penampungan sementara
bagi korban bencana alam apapun.
Sementara itu pada tataran seni murni sekaligus sejenis seni patung yang
dihadiekan di ruang publik, tentulah harus menyebut karya-karya Joko Avianto.
Bagi warga Bandung tentu pernah menjumpai karyanya antara lain di simpang jalan
Pajajaran – Cicendo dan simpang Cicendo – Kebon Kawung. Karya lainnya yang
membuat “terperangah” adalah karya instalasi berjudul ’Pohon Besar (Big Trees)’ yang tersusun dari beton dan
1.500 lebih batang bambu dengan panjang setiap bambu sekitar 6 (enam) meter.
Instalasi bambu yang dikerjakannya selama tiga minggu ini dipajang di bagian
depan Galeri Kunstverein, menghadap ke lingkungan perkotaan Frankfurt,
ditampilkan di dalam pameran “ROOTS: Indonesian Contemporary Art” yang
kaitannya dengan keikutsertaan Indonesia di dalam Frankfurt Book Fair 2015.
Tenda-tenda
persinggahan yang dirancang dan direalisasikan oleh arsitek Ming Tang di Cina.
Rancang yang kemudian menjadi pemenang “WA Awards, 4th Cycle 2009” ini berdasar
kepada gagasan sekaligus kebutuhan rumah singgah bagi korban gempa bumi yang
terjadi di Sichuan, Cina, pada 2008 (Foto dari http://www.bamboosdesign.com/)*.
Langkah Kelanjutan
Bambu yang begitu dekat dengan kebudayaan Nusantara dan khususnya dalam
kebudayaan Sunda, bisa dikatakan terus berkembang bahkan sesungguhnya mengalami
perkembangan cukup jauh jika dibanding dengan tradisi awalnya. Di bidang
konstruksi dan arsitektur atau desain bangunan bambu, misalnya, tampak sekali
pada karya-karya Jatnika Nanggamiharja sang arsitek rumah bambu dari Cibinong, kenyataan
karya-karya Effan Adhiwira, hingga (jika melihat ke luar) tak terhindarkan
untuk menyebut karya-karya Simon Velez.
Perkembangan di bidang kriya bambu bahkan sampai ke seni murni yang telah
dirintis lama oleh Ahadiat Joedawinata dan terutama sang istri yaitu Rini
Chairin Hayati, kini terus berkembang dengan bermunculnya pakar-pakar baru
desain produk yang berkenan turun ke masyarakat pengrajin. Kriya bambu yang
semula beredar di kalangan masyarakat (maaf) bawah, kini tak canggung lagi
bermunculan di tempat-tempat yang sangat bergengsi.
Meski tak terlalu baru, patut pula dicatatkan di sini bahwa bambu yang
semula diperlakukan sebagaimana material alamiahnya yaitu sebagai tanaman
berongga (misal menjadi suling, kohkol,
angklung, dsb.), dan/atau dan sifat kulit luarnya yang elastis untuk kemudian
dimanfaatkan menjadi aneka anyaman; kini bisa diolah, dipadatkan, dibentuk baru
dengan istilah baru yaitu teknik laminasi. Dengan teknik ini bambu menjadi
berbentuk tak bedanya dengan kayu bahkan dengan tingkat kekuatan dan daya tahan
yang lebih baik, maka muncul lah bambu padat berbentuk batangan, lembaran
seperti halnya papan, bentuk-bentuk parket
untuk lantai, bahkan menjadi aneka furnitur yang serba baru baik desain atau
pun teknologi pembuatannya.
Belakangan, dengan teknik menyerupai laminasi, bambu
dibuat menjadi sebentuk gitar. Sila bayangkan lekuk-lekuk bentuk gitar yang tak
mungkin lagi dibuat dengan sifat alamiahnya bambu. Bahkan, ditangan Endo Suanda
dibuktikan bambu pun bisa dibentuk menjadi kendang
(gendang), dogdog, biola, kacapi,
dalam arti bambu telah berubah menjadi material solid (padat).
Sebagian dari tokoh atau
pakar bambu (dari kiri atas searah jarum jam): Elizabeth A. Widjaja, Prof. Dr. Ir. Morisco, Dr. Dwinita Larasati, M.A, Effan
Adhiwira, dan Jatnika Nanggamiharja (Foto dari berbagai sumber).*
Mengenal
Beberapa Tokoh Bambu
Penulis manakala menyusun artikel-artikel berkait tentang bambu ini, tidak
dilandasi asumsi sebagai pakar di bidang bambu, melainkan hanya bermodalkan
kenangan, kecintaan, dan harapan terjadinya perubahan perlakuan terhadap bambu secara
besar-besaran. Perubahan yang dimaksud, seperti teks serba selintas pada bagian
lain tulisan ini, nyata sekali berkenaan dengan kepentingan lingkungan hidup,
aspek ekonomi, perkembangan kecendekiaan (baik ilmu pengetahuan atau pun seni),
dan/atau sejatinya budaya hingga kemungkinan perkembangan bagi peradaban dan
kebudayaannya itu sendiri.
Sejatinya pakar bambu yang pertama sekali harus disebut adalah Elizabeth A. Widjaja. Meski pada
dasarnya pengetahuan tentang bambu telah tumbuh di masyarakat secara alamiah
dan turun temurun, namun Elizabeth A. Widjaja lah yang paling awal melakukan
penelitian-penelitian ilmiah tentang bambu. Ia tercatat sebagai peneliti senior
ihwal taksonomi bambu di IPB, dan peneliti di Pusat Penelitian Biologi Lembaga
Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI). Salah satu karyanya adalah buku tipis tentang
aneka jenis bambu yang diterbitkan LIPI, merupakan buku hasil penelitian dan
identifikasi bambu yang tumbuh di Kebun Raya Bogor tersebut selalu menjadi
rujukan bagi siapapun yang ingin mengenal bambu lebih jauh.
Pakar teknik struktur
bangunan yang kemudian menjadi peneliti bambu
sejak 1993 hingga
sekarang adalah Prof. Dr.
Ir. Morisco. Banyak sekali temuan dan sumbangan ilmunya yang berkenaan
dengan bambu, diantaranya adalah cara
penyambungan
bambu
dengan pengisi
(1993), alat
pengawetan
bambu dengan tekanan (1998) yang memperoleh sertifikat paten pada 2004,
pelat
dinding
beton
pencetak
dengan tulangan
bambu
(paten 2005), bambu laminasi (2004) dalam bentuk papan yang dapat diaplikasikan untuk
dinding, penutup lantai, daun pintu, serta mebel, pengembangan
bambu
laminasi
dalam bentuk balok dapat diaplikasikan untuk kusen, batang-batang struktural
yang mampu memikul momen, gaya aksial dan lateral. Pria kelahiran Solo, 8 Februari 1945, ini terus menjadi peneliti bambu dan menjadi dosen tetap pada Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan Fakultas Teknik di Universitas Gadjah Mada.
Seorang yang dikenal sebagai pendekar penghijauan dan
pengekspor rumah bambu dari Cimande adalah Jatnika
Nanggamiharja. Pria
kelahiran Cikidang, Sukabumi, 2 Oktober 1956 ini tak terpisahkan dari tanaman
bambu. Produk-produk rumah bambunya, kini telah menjadi komoditas ekspor,
antara lain ke Malaysia, Brunei, dan Arab Saudi. Sejak tahun 1985, tercatat telah
membangun lebih dari 3.000 rumah bambu. Jatnika senantiasa menyisihkan
keuntungan bisnisnya untuk penghijauan tebing sungai terutama di sekitar sungai
sebagai penahan tebing. Bambu yang ditanamnya kini sudah merimbun di bantaran
Sungai Ciliwung, Cisadane, dan Ciluwer. Di kampung halamannya, Jatnika menanam
lebih dari 10 hektar bambu di tepian sungai Cimande. Tanaman bambu tersebut tak
sekadar mencegah erosi sungai, tapi juga memberi kesejahteraan bagi warga
sekitar. Jatnika pun melatih tenaga ahli pembuatan rumah bambu, mereka bahkan dibekali
kemampuan olahraga bela diri pencak silat Cimande. Jatnika pernah menerima
penghargaan sebagai pembuat rumah bambu tradisional terbanyak dari Ikatan
Arsitek Indonesia pada tahun 2009.
Jika kita ke Bali, hendaknya sempatkanlah ke sekolah
alternatif yang berkelanjutan, yaitu Green
School yang dibangun dan direalisasikan oleh pasangan John dan Cynthia
Hardy pada tahun 2008. Di sana akan kita lihat bangunan ramah lingkungan serba
bambu yang begitu menakjubkan. Di balik itu, yang hendak kita catat di sini,
adalah seorang pria yang relatif masih muda yaitu Effan Adhiwira, kelahiran Jakarta, 19 September 1982. Pada 2007 Effan
mendaftar ke PT Bambu yang pada saat itu sedang memulai proyek Green School. Sarjana arsitektur lulusan
Universitas Gadjah Mada 2005 ini, tentu sebelumnya telah mendapat bekal dari Prof.
Dr. Ir. Morisco, tapi kiranya di Green
School itulah ia mengalami titik-balik dan mendapatkan ruang kesempatan
untuk merealisasikan gagasan-gagasannya yang antara lain berupa teknik lengkung
untuk bambu. Belakangan Effan merintis dan mengembangkan lembaganya sendiri
yang bernama “eff studio,” sejak itu pula karya mandirinya berupa arsitektur
hingga seni instalasi bermunculan di mana-mana. Untuk menyebut alakadarnya
saja, karya Effan Adhiwira antara lain adalah bangunan Dodoha Mosintuwu di
pinggiran danau Poso, Sulawesi tengah, dan restoran Bamboe Koening di Bali.
Demi menatap ambahan masa depan bambu yang lebih jauh,
patut kiranya kita menyebut Dr. Dwinita
Larasati, M.A. sebagai peneliti, pakar, ilmiahwati, dan aktivis bambu yang
relatif masih tergolong muda. Ia menyelesaikan studinya di bidang Desain
Produk, Departemen Desain, Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi
Bandung (ITB) 1997, dan meraih gelar Doktor (Dr.), bidang Urbanism dan Materials Science & Sustainable Construction,
Faculty of Architecture dan Faculty of Civil Engineering & Geosciences, di Delft
University of Technology, Delft, Belanda, 2007. Panjang sekali jika harus
menguraikan seluruh kegiatan peraih penghargaan Teknologi Inovator, Hari
Kebangkitan Teknologi Nasional ke-15, Kementrian Riset dan Teknologi, 2010 ini.
Di antara sederet aktivitasnya, Tita (demikian panggilannya sehari-hari) nyaris
tak henti turun langsung ke masyarakat pengrajin demi pengembangan desain baru
kriya bambu. Ia pun termasuk yang gigih sejak merancang hingga merealisasikan
teknologi hibrida, yaitu teknologi pengolahan bambu dengan tetap merawat
keahlian atau metoda tradisional pada masyarakat yang dipertemukan dengan
teknologi baru hingga membentuk teknologi hibrida. Itu dikembangkannya demi
melipat-gunakan potensi bambu sekaligus demi meneguhkan gagasannya yang terus
diperjuangkan yaitu “bambu sebagai bahan berkelanjutan bagi kebutuhan hidup.”
Itu, tentu saja, teramat sedikit saja dari pakar atau
tokoh bambu yang ada di Indonesia. Tujuannya memang bukan hendak menguraikan
daftar nama-nama tokoh, melainkan sekadar menggambarkan bahwa bambu yang begitu
dekat dengan kebudayaan Nusantara itu ternyata terus berlanjut. Sebagai
penutup, izinkan menurunkan penggalan pusat pikiran Tita Larasati yang tertuang
di dalam thesisnya: “Bambu tumbuh di seluruh pulau dan kepulauan Indonesia, dan
telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia sejak berabad-abad
yang lampau. Disebabkan pertumbuhannya yang demikian cepat, bambu pun pada
gilirannya diyakini bisa menjadi sumberdaya berkelanjutan (sustainable resource). Meski bambu tergolong ke dalam keluarga
rumputan, kenyataan teknisnya ternyata menyerupai sifat-sifat kayu, maka amat
sangat memungkinkan untuk menggantikan dan/atau sekurang-kurangnya menjadi sela
di dalam penggunaan kayu yang cenderung kian mencemaskan ketersediaannya,
Ada tiga faktor utama yang sangat mungkin bagi pengembangan
bahan alam yang luar biasa ini, yaitu (1) kontribusi teknologi madia (advanced technology) dan metoda
pengolahan yang bisa meningkatkan kualitas bambu, (2) menyelia sumberdaya
manusia tepat guna melalui penerapan teknologi tepat guna, dan (3) memperkenalkan
desain-desain yang telah teruji untuk mendorong terciptanya produk-produk
fungsional bagi potensi pasar yang lebih luas.
(Herry Dim, pelukis, pengamat kebudayaan, eseis, tinggal di
Cibolerang, Bandung).***
Rangkaian tulisan ini telah dimuat di “Selisik/Pikiran Rakyat,” Senin, 5 Desember 2016, dalam versi yang telah diedit untuk kepentingan media.
Komentar
Posting Komentar