Tak Ada Lagi "Awi jeung Gawirna," Banjir dan Longsor pun Berdatangan

(Lima Catatan Herry Dim)

LEMBAR halaman “Jawa Barat” H.U. Pikiran Rakyat, 24 Oktober 2016, menurunkan tiga berita yang berkenaan dengan pergerakan tanah, longsor dan banjir. Empat bencana terjadi di Cianjur Selatan yang bukan saja memakan korban jiwa dan kerusakan yang cukup besar, diberitakan pula bahwa berdasar data Badan Meteorologi Klimatologi Geofisika (BMKG) masih terdapat delapan titik zona merah di wilayah setempat. Longsor dan banjir lainnya diberitakan terjadi di wilayah Kecamatan Palabuhan Ratu, sementara judul berita lainnya yaitu “92 Persen Kecamatan (di Kabupaten Tasikmalaya) Rawan Pergerakan Tanah.” Begitulah, setelah banjir dan longsor di Garut dan Sumedang, Jawa Barat kiranya mesti siaga.

Longsor karena kikisan air sungai atau pun air yang turun dari atas, itu selalu menerpa daerah yang tidak disangga pepohonan yang cukup kuat. Foto jebolnya salasatu tanggul sungai Cimanuk, Pikiran Rakyat (20 Juli 2016) menunjukan tembok batu tebal pun tak akan tahan menahan air. Sementara, seperti tampak pada sudut kanan foto, hanya disangga pohon lunak (pisang) dan di tempat kejadian malah gundul. Padahal di seberangnya yang penuh rimbunan bambu, meski tak bertembok batu tampak aman sentausa. (Foto: Tati Purnawati/PR)*

Sungguh merupakan berita-berita yang mencemaskan, sambil menyadari bahwa kecemasan tersebut sesungguhnya bukan hanya berkenaan dengan tempat kejadian pada berita-berita di atas melainkan bisa dikatakan merata hampir di seluruh wilayah Jawa Barat. Merata bahwa di Jawa Barat, kini, berhadapan dengan paradoks alam yang ekstrem; musim penghujan dalam ancaman banjir dan longsor, sementara kala musik kemarau teracam kekeringan dan kesulitan air bersih. Geolog T. Bachtiar telah mengingatkan hal tersebut melalui sejumlah tulisannya, salasatu kalimatnya yang tertera di dalam buku “Bandung Purba” (2016, cetakan keempat): “Itu sesungguhnya demonstrasi alam, bahwa telah terjadi salah kelola di lereng-lerengnya” (hal. 375). Pada tulisan yang sama, ia pun bertanya: “Apakah masyarakat, pemda merasa kehilangan atau tidak dengan alih fungsi hutan alami menjadi hutan produksi, kemudian menjadi kebun sayur di lereng-lereng dengan kemiringan curam...?” Konteks tulisan T. Bachtiar berkenaan dengan Bandung, tapi sesungguhnya berlaku bagi Jawa Barat bahkan Indonesia pada umumnya.
Kiranya kita perlu menengok dan menghidupkan kembali kearifan yang sesungguhnya pernah kita miliki, salasatunya kearifan yang berkenaan dengan bambu.

Kudu Kawas Awi jeung Gawirna

Masyarakat Sunda sesungguhnya memiliki pepatah “kudu kawas awi jeung gawirna” (harus seperti bambu bersama tebingnya). Makna harafiah dari pepatah tersebut menyatakan tentang kebersatuan antara tebing dan bambu yang sepatutnya tak terpisahkan. Seperti umumnya pepatah, itu berfungsi sebagai ajaran atau pun peringatan agar rumpun pohon bambu senantiasa tak tepisahkan dari tebing; sebuah peringatan bagi kita bahwa manakala salah satu dari bambu atau tebing itu terpisah niscaya akan menimbulkan bencana.
Berkenaan dengan penggunaan kata “kudu siga” (harus seperti), maka pepatah tersebut pun berfungsi sebagai amsal yang galibnya diterapkan ke dalam keseluruhan kehidupan; antara lain mengajarkan bahwa hal-hal seperti perkawinan, persaudaraan, atau persahabatan seyogianya harus seperti bambu dan tebing; satu sama lain lekat di dalam dimensi saling memberi dan saling melindungi. Sementara makna sampirannya, memberikan ajaran yang berkenaan dengan lingkungan hidup, bahwa rumpun bambu dengan sebaran akar-akarnya yang kuat dan mengikat itu berfungsi untuk menjaga tebing dari kemungkinan bencana longsor, dapuran atau rumpun pohon bambu dengan dedaunannya memberikan keteduhan, sehingga lingkungan di sekitar tebing (jika diurus) pun menjadi asri serta nyaman bagi kehidupan.

Pepatah tua tersebut jelas mendahului kesadaran environmental (lingkungan hidup) yang menjadi perhatian utama masyarakat kontemporer. Belakangan baru kita ketahui bahwa bambu ternyata memiliki potensi besar bagi penyelesaian sejumlah masalah lingkungan hidup dan sekaligus memiliki fungsi sosial-ekonomi yang besar. Beberapa contoh upaya penghijauan kembali pada kasus-kasus penggundulan (deforestation) hutan tropik mulai memilih tanaman bambu sebagai alternatif, dan kemudian terbukti pula menjadi solusi yang nyaris sempurna. Karakter biologis bambu terbukti berhasil menjadi penyelia kesuburan tanah, pohon dan akar menahan terjadinya erosi, sementara tanaman bambu secara keseluruhan sanggup mereduksi tingkat pencemaran dioksida karbon (carbon dioxide) di atmosfer. Sedangkan dari sisi sosial, seperti telah diajarkan pula oleh masyarakat tradisional dan kemudian banyak dikembangkan melalui ilmu pengetahuan mutahir, bahwa bambu amat-sangat mungkin menggantikan kebutuhan kayu yang diambil dari hutan-hutan tropik (tropical timbers) bagi kebutuhan keseharian, kertas, pakaian, furnitur, hingga industri bahan bangunan.

Bambu untuk tumbuh dewasa dan siap panen hanya perlu waktu antara tiga atau lima tahun, jelas merupakan perbandingan terbalik dengan masa tumbuh pohon kayu yang paling lunak sekalipun. Selewat masa tumbuh awal atau setelah menjadi dapuran, sejumlah jenis bambu bahkan sudah bisa dipanen pada usia hanya empat atau enam bulan saja.
Sadar akan potensinya, maka AS pun mulai mengalihkan perhatiannya kepada bambu. Sebuah selebaran tentang bambu, mengungkapkan tentang betapa penting dan mendesaknya bambu untuk menjadi perhatian masyarakat serta negara AS. Selebaran ringkas tersebut bahkan mengetengahkan judul “Betapa Pentingnya Bambu bagi Masa Depan Amerika.”


Salasatu halaman selebaran yang mengurai tentang pentingnya bambu bagi masa depan AS. (Dok: HDim)*

Menjadi menarik untuk diperhatikan mengingat bahwa AS hampir bisa dikatakan masa lalunya tidaklah memiliki sejarah bambu. AS tidak seperti kita dan kebudayaan Nusantara pada umumnya, tidak juga seperti Cina, Jepang, dan sebagian besar bangsa-bangsa di Asia Tenggara yang memiliki sejarah kebudayaan bambu; namun tiba-tiba seperti diungkapkan di dalam selebaran tersebut menerakan sub-judul “Amerika Perlu Membudidayakan Bambu.”
Selebaran tersebut kemudian menjelaskan sejumlah alasan pentingnya pembudidayaan bambu bagi AS seperti antara lain sebagai berikut:
Pertama, tumbuhan dan hutan bambu sanggup menyelia oksigen 35% lebih banyak dibanding dengan pepohonan lain. Satu are tanaman bambu bisa menyerap dioksida karbon sebanyak 25 ton per tahun, berbanding jauh dengan hutan muda non-bambu yang hanya menyerap 6 ton per tahun.
Kedua, serat bambu ternyata amat luar biasa untuk bahan kertas dan kain. Produksi global bambu olahan (pulp) per tahun saat ini sebanyak 1,5 juta metrik ton, 80% kebutuhannya dipenuhi oleh Cina dan India. Kini, baik bambu olahan, dapuran atau perkebunannya yang berimpak besar bagi lingkungan, serta kain bambu telah menjadi perhatian masyarakat Barat. Kain dari bahan baku bambu ternyata bisa sehalus sutra dan lebih memiliki daya serap yang lebih baik ketimbang katun, dan yang lebih penting lagi kandungan alamiahnya yang memiliki daya antimikrobial. Bersumberkan kepada uraian majalah National Geographic (Mei 2007) didapat keterangan bahwa pada tahun 2004 Cina meraup hasil jutaan dolar dari ekspor bambu bagi bahan baku industri tekstil. Pada tahun 2006, angka ekspor tersebut melambung nyaris sepuluh kali lipat.
Bambu pada dasarnya merupakan tanaman berkelanjutan yang hanya perlu ditanam sekali lantas berikutnya bisa dipanen secara periodik tanpa harus menanam kembali. Dan jelas pula bahwa bambu jauh lebih unggul dibanding katun terutama jika dihadapkan kepada isu pemanasan global. Sebab bukan saja mampu mereduksi CO2, pembudidayaan bambu pun tak perlu penggunaan traktor sebanyak budidaya katun, yang artinya lebih kecil dalam hal penggunaan bahan bakar yang memproduksi limbah karbon.

**
Berbeda dengan AS yang nyaris tidak memiliki kebudayaan bambu tapi kemudian mulai beralih hendak mengganti kebudayaan asalinya yaitu budidaya kapas, maka sebaliknya dengan kebudayaan Nusantara yang tak bisa dimungkiri lagi telah memiliki kebudayaan bambu sejak ribuan tahun yang lalu. Sebut misalnya masyarakat Kanekes (Badui) di kabupaten Lebak, provinsi Banten, antara lain memiliki tradisi membuat waroge yaitu rajah di atas sebilah bambu sebagai medium penolak bala. Dengan melihat sejumlah peninggalan yang begitu dekat dengan masa batu tua atau pun batu besar, masyarakat Kanekes diduga merupakan ujung terakhir dari masyarakat megalitikum yang masih tersisa hingga sekarang. Waroge sebagai bagian dari tradisi turun-temurun, maka bukan tidak mungkin pula merupakan warisan dari kebudayaan ribuan tahun yang lampau.
Masyarakat Kanekes pun bisa dikatakan pemilik sah dari seni angklung yang paling buhun (awal mula) dengan bahan utama berupa bambu. Hal paling fenomenal lainnya adalah kesaksian bangunan jembatan bambu di atas sungai Cihujung, Kampung Gajeboh. Jembatan yang menghubungkan dua jurang dengan ketinggian sekira 40an meter ini seluruh konstruksinya berbahan bambu. Berdiri kokoh dengan tiang penyangga berupa awi gombong (bambu besar), tiang-tiang gantungan hingga lantai jembatan umumnya berbahan awi tali. Dari segi konstruksi dan keindahannya, jembatan nun jauh di pedalaman Kanekes ini kerap membuat takjub, bahkan sejumlah ahli dari berbagai latar disiplin ilmu kerap pula mengkhususkan diri untuk datang dan melakukan studi. Sementara melihat alamnya yang berupa pegunungan dengan beberapa jurang yang terjal, bisa pula diduga bahwa peradaban teknologi jembatan pada masyarakat Kanekes ini merupakan bagian dari kebudayaan yang setua keberadaan masyarakatnya itu sendiri.
Bagi masyarakat Sunda, bambu semestinya bisa juga memerdekakan mereka dari segala masalah, termasuk kemiskinan dan kerusakan alam. Hal itu bukan isapan jempol. Masyarakat Sunda sudah sedemikian lama berhubungan akrab dengan bambu. Sudah banyak pengalaman leluhur yang bisa dipetik. Sejak lahir hingga mati, orang Sunda selalu dipertemukan dengan bambu.
Jatnika, pakar bambu sekaligus pengurus harian Yayasan Bambu Indonesia, bahkan menuturkan bahwa orang Sunda berhubungan dengan bambu itu sejak lahir hingga kepergiannya ke alam kubur. Saat lahir, urai Jatnika, bayi-bayi Sunda dilepas dari ari-arinya dengan menggunakan sembilu, alat potong dari hinis bambu. Pertumbuhan selanjutnya selalu berhubungan dengan bambu, hingga saat meninggal ditandu dengan keranda bambu dan penutup jenazah dari anyaman bambu. Betapa dekatnya masyarakat Sunda itu dengan bambu, maka anehlah jika masyarakat yang berkebudayaan tinggi ini nyatanya mengalami bencana longsor dan banjir.***



Mengurai Kenangan pada Bambu

Mungkin di antara kita ada yang masih kita ingat nyanyian “Badminton” (terbit tahun 1955) ciptaan Mang Koko (1917 - 1985) yang sangat populer sekali pada masanya. Di dalam nyanyian tersebut tergambarkan tentang bagaimana rakyat (kecil) melaksanakan kegemaran main badminton di kebon awi atau di suatu halaman di antara rumpun bambu. Penggalan dari salasatu bait nyanyian tersebut, sebagai berikut:
kok-na ku bulu éntog
nét-na ku samping butut
rékétna panggebug kasur
tempatna di kebon awi
Nyanyian tersebut menjadi semacam tautan kenangan terhadap keelokan bambu, maka kehadirannya bukan saja memberikan pengalaman tekstual melainkan juga mengikat sejumlah kenangan empirik.


Mang Koko (1917 – 1985) pencipta lagu "Batminton" yang mengungkapkan kesederhanaan sekaligus kebahagiaan rakyat yang bermain batminton di kebun bambu. (Foto dari www.wikiwand.com/id/Mang_Koko)

Mungkin tergambar pula di dalam ingatan kita adanya sebidang halaman yang lening (bersih, nyaman, tak berdebu) karena memang kerap disapu. Saat matahari di puncak terik, sinar-sinarnya hanya sedikit saja menembus halaman itu, sungguh indah melihat bocoran cahayanya yang menerobos di antara celah-celah rumpun dedaunan bambu. Udara di halaman itu pun terasa nyaman, teduh tapi tidak lembab, bahkan hembusan angin besar tersaring dedaunan dan rumpun bambu sehingga angin yang tiba di halaman itu adalah semilir dengan kesejukannya yang alami. Ini pula, mungkin, yang menjadi alasan mengapa pelataran permainan badminton kerap memilih tempat di halaman yang terlindung rumpun bambu; permainan yang memang perlu menghindar hembusan angin, itu terbantu oleh daya serap pohon-pohon bambu.
Sedikit lebih sore lagi, kita kenang, bahwa di tempat yang sama adalah sejumlah anak laki-laki atau pun perempuan berlatih penca (silat). Semuanya berlatih dengan telanjang kaki, pori-pori telapak kaki bersentuhan langsung dengan bumi, gusuran telapak kaki yang memang tidak boleh terangkat manakala melapalkan adeg-adeg; itu seperti elusan-elusan di permukaan tanah yang lama kelamaan membuka patina (kesejatian) tekstur tanah. Jika diperhatikan, akan tampak bagian renik akar-akar bambu yang bertebar itu saling mengikat dengan tanah tempat berpijak, membentuk komposisi permukaan yang tak tergantikan keindahannya. Itu pula rupanya yang membuat tanah tidak terlalu gembur, tak mendebu saat kemarau, tak melumpur saat hujan, dan yang terpenting; sebaran akar-akar bambu tersebut menjadi semacam pengikat tanah, sifat tanah menjadi tetap “terbuka,” fungsional sebagai resapan manakala musik hujan, itu pula sejatinya biopori.

Kenangan Dialog dengan Mang Udjo

Penulis, ketika masih aktif di H.U. Pikiran Rakyat, pada tahun-tahun sebelum 1980an, mulailah berkenalan dengan Mang Udjo Ngalagena (1929 – 2001). Masih terkenang bagaimana Mang Udjo begitu kerap mengundang untuk ditemani ngobrol yang antara lain membicarakan pencapaian Saung Angklung Udjo (SAU) serta menjabarkan gagasan-gagasan masa depannya. Sejak itu pula pintu gerbang apresiasi terhadap bamboo mulai terbuka.
Kerap misalnya kami berbincang sambil jalan mengitari sekeliling area SAU yang belum seluas sekarang ini. Sampai di suatu tempat Mang Udjo berhenti lantas berkata “ari kahayang mah di dieu teh lain keur ngawangun imah, engke sugan mun Saung Angklung ngalegaan kuduna mah ieu teh jadi dapuran awi.” (jika berdasar keinginan, di tempat ini harusnya tidak dibangun rumah, kelak kalau SAU sudah mampu memperluas diri mestinya dijadikan kebun bambu).
 Sekadar untuk menggali alasannya, saya melontarkan pertanyaan “jika memang SAU meluas, mengapa kebun bambu dan bukan sawah yang lebih menghasilkan?”
Mang Udjo tertawa terbahak-bahak lantas menjawab (aslinya di dalam bahasa Sunda) “nah, begitulah umumnya anak muda… bagus memikirkan hal yang bisa menghasilkan itu, tapi bagaimana bisa menghasilkan jika dasar-dasarnya tidak dipersiapkan… bagaimana bisa ada sawah jika kebun bambunya tidak ada.”
Seperti biasanya pembicaraan Mang Udjo kerap topiknya melompat-lompat, pembicaraan di atas tidak berlanjut karena berpindah ke pembicaraan lain. Tapi pernyataan “bagaimana ada sawah jika kebun bambunya tidak ada,” itu betul-betul tertancap di dalam pikiran dan bertahun-tahun menjadi pertanyaan sekaligus bertahun-tahun pula dicari jawabannya. Maka pada pertemuan-pertemuan berikutnya, nyaris selalu menyempatkan membelokan pembicaraan ke arah pernyataan tersebut. Setelah berupaya “menyusun” lompatan-lompatan pikiran dari waktu yang berbeda-beda tersebut, ditambah lagi pembicaraan dengan sesepuh lain akhirnya didapat satu bangunan jawaban yang menimbulkan rasa takjub yang luar biasa.
Dari Mang Udjo sendiri didapat penjelasan lanjutan bahwa “sawah sifatna perlu cai, sumber cai bisa ti ci nyusu atawa walungan… rek ci nyusu atawa walungan perlu oge tempat keur neundeunna kalayan ngajagaanna, tah anu neundeun jeung ngajaga cai teh nyaeta dapuran awi” (sifanya sawah itu senantiasa perlu air, sumbernya bisa dari mata air atau pun sungai… baik mata air atau pun sungai, keduanya perlu tempat penyimpanan sekaligus yang menjaga, tugas menyimpan dan menjaga itu tak lain hanya bisa dilakukan oleh kebun bambu).
Perlu dicatat di sini bahwa pembicaraan tersebut berlangsung sekira tahun 1980an, suatu masa ihwal lingkungan hidup belum menjadi pembicaraan luas, masih perlu 30 tahun lagi bagi munculnya seorang Al Gore yang berbicara masalah pemanasan global dan krisis air. Mang Udjo lebih awal memberikan gambaran bahwa alam ini memiliki ikatan atau kesalingterikatan semesta.
Pernah pula tersampaikan bahwa padi tetap saja bisa tumbuh meski tidak ada pohon bambu. Mang Udjo segera menjawab: tapi eta ngaranna sasawahan anu tangtu moal bakal bener jadina (tapi itu namanya sawah-sawahan yang bisa dipastikan tidak akan benar pertumbuhannya).
Bersamaan dengan itu, selangkah demi selangkah mulai pula difahami bahwa sifat akar bambu dan kerimbunan dedaunannya itu memiliki kemampuan menyerap dan menyimpan air, akar-akarnya sanggup mengikat tanah atau lingkungan sekitarnya menjadi tidak mudah rusak. Demikian halnya bantaran sungai, niscaya akan terjaga jika di sepanjang tubuhnya diikat dan ditahan oleh tumbuhan bambu.


Mang Udjo Ngalagena pada tahun 1980an (Foto: HDim).* 


Geger

Dari sumber yang lain bahkan didapat penjelasan bahwa masyarakat Sunda itu memiliki tradisi geger yang memiliki kesatuan dengan tradisi sawah. Jika kini kita mengenal daerah yang bernama geger kalong hilir dan girang, kiranya di balik kata geger tersebut ternyata menyimpan suatu makna yang penting. Geger adalah sebentuk hutan kecil yang terdapat di tengah atau di bagian lain dari bentangan pesawahan. Sumber lain ada juga yang menyebutkan geger itu bagian gunung paling atas atau punggung gunung yang memanjang. Tapi yang jelas ini pun mengacu kepada sebentuk hutan yang berdampingan dengan pesawahan. Biasanya di dalam geger terdapat mata air, jika pun di daerah pesawahan tersebut tidak terdapat mata air; sebuah geger tetap saja harus hadir menjadi bagian dari pesawahan.
Fungsi geger prinsipnya adalah hutan, di sana tempat hidupnya unggas hingga ular pemangsa tikus, ulat, atau hama padi lainnya. Jika di tempat tersebut terdapat mata air, maka geger menjadi berfungsi ganda yaitu menjadi penjaga mata air pula. Jajaran rumpun bambu biasanya berbaris membentengi geger sementara tumbuhan lainnya berada di dalam, tapi adakalanya pula dengan posisi terbalik yaitu rumpun bambu berada di tengah dan tumbuhan lainnya di luar. Penghuni geger adalah burung hantu, elang, kelelawar, serta ragam burung lainnya; pada musim-musim tertentu bahkan biasanya dikunjungi pula jenis burung lain yang bermigrasi dari tempat jauh untuk sekadar singgah. Di sanalah terjadinya siklus hidup atau matarantai ekosistem. Tikus, ulat, atau hama lainnya tidak menyerang padi melainkan tinggal di geger. Burung hantu dan ular menjaga populasi tikus, dan burung-burung yang membereskan ulat dan hama padi.
Itulah apresiasi awal terhadap pentingnya tanaman atau rumpun bambu di dalam kehidupan.




Perhatikan di sudut kanan foto ini, terdapat sebentuk hutan kecil yang disebut “geger” sebagai pengatur ekosistem. Jika foto pada bagian “geger” tersebut diperbesar, maka akan tampak rimbunan dapuran bambu mengelilingi bagian luar hutan tersebut (Foto diunduh dari mediataniindonesia.blogspot.nl).*


Foto bagus ini dari situs indonesiabiru.com/tag/ciptagelar/. Dipinjam demi menunjukan ikatan dan saling keterhubungan alam di wewengkon Ciptagelar. Kita lihat rumpun bambu (di sebelah kanan foto) menyangga irigasi yang kemudian terhubung ke pesawahan. Di sekelilingnya pun masih memuliakan "geger" sebagi pengatur ekosistem.*  



Keanekaragaman Bambu

Sejumlah peneliti bambu mengatakan hanya sedikit saja pengetahuan kita tentang sumber daya dan penyebaran bambu, apalagi tentang ragam bambu yang berada di hutan yang masih alami. Sebagai tanaman hutan non-kayu, bambu tidaklah dimasukan secara tetap ke dalam inventarisasi kehutanan, itu pun membuat kurang dan belum lengkapnya data yang bisa didapat. Merujuk kepada data FAO (Food and Agriculture Organization, 2001) tentang statistik bambu ternyata masih menggunakan data periode 1954 hingga 1971. Saat ini, negara-negara yang memonitor produksi hutan non-kayu (NTFP) terus berupaya untuk melakukan pendataan bambu, namun selalu mendapatkan kesulitan pendataan karena empat hal di lapangan, yaitu: (1) belum ada kesamaan dalam taksonomi; (2) begitu banyaknya penggunaan di tingkat lokal, nasional, dan internasional; (3) ada fakta-fakta bahwa peredaran, penggunaan, atau pemasaran sejumlah produk bambu itu di luar struktur ekonomi non-bambu; (4) belum memiliki terminologi umum dan metoda pengukurannya yang belum sama di berbagai negara (FAO 2001).
Ditambah lagi oleh kemungkinan bahwa antara satu peneliti dengan peneliti lainnya, atau satu lembaga penelitian dengan lembaga penelitian lainnya yang berbeda negara itu belum saling akses dan/atau saling memperbaharui data, maka kerap terjadi antara data satu lembaga dengan lembaga lainnya itu berlainan. Empat orang peneliti (Bystriakova, Valerie Kapos, Chris Stapleton, Igor Lysenko) yang masing-masing dari International Network for Bamboo and Rattan Beijing (Cina), UNEP World Conservation Monitoring Centre Cambridge (Inggris), dan Royal Botanic Gardens, menurunkan data sebagai berikut:

NEGARA/ WILAYAH

JUMLAH SPECIES YANG DITEMUKAN

NEGARA/ WILAYAH

JUMLAH SPECIES YANG DITEMUKAN

Australia
3
Korea, DPR
2
Bangladesh
18
Pakistan
3
Bhutan
21
Papua New Guinea
22
Brunei
6
Philippines
26
Cambodia
4
Russia (Sakhalin and Kuril Islands)
1
China
626
Singapore
3
Hong Kong
9
Korea, Rep.
6
India
102
Sri Lanka
11
Indonesia
56
Thailand
36
Japan
84
Viet Nam
69
Laos
13


Malaysia
50


Myanmar
75


Nepal
25


Jumlah species di seluruh Negara 1.012

Sumber: Ohrnberger 1999

Jika berpegang kepada tabel data di atas, jelas bahwa bambu yang ada di Indonesia itu hanya 56 species saja. Sementara berdasar kepada data kita sendiri, beberapa sumber menyebutkan bahwa di dunia terdapat sekitar 1200 - 1300 jenis bambu, dari jumlah tersebut sebanyak 143 jenis (data baru ada pula yang menyebut 259 species) terdapat di Indonesia; 60 jenis tumbuh di pulau Jawa dan selebihnya menyebar di pulau-pulau lain di Nusantara. Dari jumlah tersebut, 14 jenis di antaranya bisa dilihat di Kebun Raya Bogor dan Cibodas, sementara 9 jenis di antaranya merupakan endemik (jenis bambu yang hanya tumbuh/asli) pulau Jawa. Maka, sesungguhnya Indonesia merupakan negara terkaya kedua di dunia dalam hal kepemilikan jumlah species bambu.
Dari sejumlah kenis bambu yang telah dikenali tersebut, banyak pula yang telah dikenal, digunakan, dan diberi nama oleh masyarakat setempat, beberapa lagi yang belum familiar diidentifikasi berdasarkan pengelompokan spesiesnya oleh pakar taksonomi sebagaimana berikut ini: Arundinaria japonica Sieb & Zuc ex Stend ditemukan di Jawa; pring ori atau Bambusa arundinacea (Retz.) Wild. di Jawa dan Sulawesi; loleba (Bambusa atra Lindl.) di Maluku; Bambusa balcooa Roxb. di Jawa; bambu duri atau Bambusa blumeana Bl. ex Schul. f. di Jawa, Sulawesi, dan Nusa Tenggara; bambu pagar atau cendani atau Bambusa glaucescens (Wild) Sieb ex Munro di Jawa; bambu embong (Bambusa horsfieldii Munro.) di Jawa; bambu tutul, pring tutul (Bambusa maculata) di Bali; bambu cendani, mrengenani (Bambusa multiplex) di Jawa; Bambusa polymorpha Munro. di Jawa; Bambusa tulda Munro. di Jawa; haur hejo (Bambusa tuldoides) di Jawa; awi ampel, haur koneng, haur hejo, pring kuning (Bambusa vulgaris Schard.) di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Maluku; bambu petung (Dendrocalamus asper) di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Bali, dan Sulawesi; bambu sembilang (Dendrocalamus giganteus Munro.) di Jawa; bambu Batu atau Dendrocalamus strictur (Roxb) Ness. di Jawa; bambu cangkoreh, kadalan (Dinochloa scandens) di Jawa; bambu apus, awi tali (Gigantochloa apus Kurz.) di Jawa; bambu hitam, awi wulung, gombong (Gigantochloa atroviolacea) di Jawa; bambu legi, bambu ater, buluh, Jawa benel, awi ater, awi kekes (Gigantochloa atter) di Jawa; buluh Apus (Gigantochloa achmadii Widjaja) di Sumatera; bambu lengka tali (Gigantochloa hasskarliana) di Sumatera, Jawa, dan Bali; awi belang (Gigantochloa kuring) di Jawa;
bambu suluk atau Gigantochloa levis (Blanco) Merr. di Kalimantan; bambu manggong (Gigantochloa manggong Widjaja.) di Jawa; bambu lengka, bambu terung, bambu bubat
(Gigantochloa nigrocillata Kurz) di Jawa; buluh Rengen (Gigantochloa pruriens) di Sumatera; bambu andong, gambang surat, peri (Gigantochloa psedoarundinaceae) di Jawa; tiyang kaas
(Gigantochloa ridleyi Holtum.) di Bali; bambu mayan, temen serit (Gigantochloa robusta Kurz.) di Sumatera, Jawa, dan Bali; buluh dabo (Gigantochloa waryi Gamble) di Sumatera; bambu hitam (Gigantochloa verticillata); Melocanna bacifera (Roxb) Kurz. di Jawa; bambu eul-eul atau Nastus elegantissimus (Hassk) Holt. di Jawa; bambu uncea, bambu buluh kecil (Phyllostachys aurea A&Ch. Riviera) di Jawa; bambu wuluh, tamiang (Schizotachyum blunei Ness.) di Jawa, Nusa Tenggara Timur, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku; bambu buluh besar, buluh nehe; awi buluh, ute watat, tomula (Schizotachyum brachycladum Kuez.) di Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan Maluku; buluh bungkok (Schizotachyum candatum Backer ex Heyne) di Sumatera; bambu toi atau Schizotachyum lima (Blanco) Merr. di Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Papua; bambu jalur (Schizotachyum longispiculata Kurz.) di Sumatera, Kalimantan, dan Jawa; bambu jala, cakeutreuk, bambu lampar (Schizotachyum zollingeri Stend.) di Sumatera dan Jawa; dan bambu Jepang (Thryrsostachys siamensis Gamble.) di Jawa.
Sebagian dari jenis-jenis bambu di atas telah akrab dimanfaatkan masyarakat Nusantara untuk bahan bangunan (kontruksi), transportasi air, pembuatan alat musik, makanan, kerajinan, hiasan atau ornamen, serta beberapa untuk bahan pengobatan alami. Beberapa diantaranya sudah tersebar nyaris merata di Indonesia, meski ada pula beberapa jenis bambu yang mulai langka. Kelangkaan ini terjadi antara lain disebabkan oleh konversi lahan menjadi daerah pemukiman. 

Bambu gombong (Foto dari berbagai sumber).*

Bambu hitam (Foto: HDim).*

Bambu kuning (Foto dari berbagai sumber).*



Dari Tusuk Sate hingga Seni Instalasi

Bambu berperanan penting bagi ekonomi lokal dan kian berkembang pula menjadi komoditi nasional dan internasional, di wilayah Asia-Pasifik. Masing-masing digunakan untuk berbagai kepentingan, data yang sejauh ini terdokumentasikan mencatat bahwa ada 1.500 kegunaan bambu. Pemanfaatan tradisional yang paling utama antara lain adalah untuk perumahan, makanan, dan kriya. Di seluruh dunia terdapat sekitar 2.5 milyar orang yang terlibat dalam perdagangan atau penggunaan bambu (INBAR 1999). Teknologi pabrikan modern membuka jalan bagi industri bambu yang menyerupai fungsi kayu (timber-based industries), hingga mampu menyediakan produk bambu untuk lantai, dinding, laminasi, dan furnitur. Bambu pun menjadi substitusi/pengganti kayu bagi pembuatan bubur (pulp) bahan kertas; sekira 25% serat yang setiap tahun digunakan pada industri kertas di India, itu berbahan dasar bambu (FAO 1998). Iwung (Sunda), rebung (Ind), atau tunas bambu diketahui pula menjadi bahan makanan penting di sejumlah pasar lokal bahkan internasional. Cina termasuk negeri pertama yang melakukan ekspor produksi rebung, berdasar data ekspor tahunan nilainya mendekati angka US$ 140 juta (Feng Lu, 2001). Furnitur bambu pun kian meluas menjadi lahan bisnis berbagai negara; ekspor furnitur bambu dari Filipina tahun 1998 bernilai US$ 1.4 juta (Vantomme et al. 2002). Sementara di seluruh dunia, pasar domestik dan aneka ragam penggunaan bambu ditaksir bernilai tak kurang dari US$ 4.5 milyar per tahun. Ekspor bambu secara global berada pada kisaran US$ 2.7 milyar (INBAR 1999).
Itu sekadar gambaran bahwa demikian beragam/multi-fungsinya bambu di dalam kehidupan masyarakat di dunia. Peradaban atau kebudayaan kita sendiri, memang, telah mengenal bambu sejak ribuan tahun yang lampau. Jejak peradaban “buhun” tersebut bahkan sebagian di antaranya masih berlanjut hingga sekarang. Di dalam peradaban Sunda saja, kita mengenal sejumlah benda, peralatan, makanan yang berbahan dasar bambu semisal iwung (rebung atau tunas bambu untuk bahan makanan), hihid (alat kipas perapian), aseupan (bagian dari alat untuk menanak nasi), palupuh (bambu yang dipecah untuk alas tempat duduk), besek (wadah nasi/makanan), pipiti (wadah nasi/makanan), bilik (dinding rumah), nyiru (alat tampi beras), boboko (tempat nasi), ayakan (alat penyaring), taraje (tangga), korang (tempat ikan hasil pancingan), jeujeur (tangkai kail), sumplit (sumpit), suling (seruling), angklung, karamba (tempat ternak ikan di sungai), waroge (media upacara suku Badui), tiir (tusuk sate atau lainnya), cemped (bagian dari rumah berupa penjepit dinding), cukang beurit (bagian rangka silang konstruksi rumah), dampit (rusuk konstruksi sebuah leuit atau tempat penyimpanan padi), jungjang (bambu yang dipalangkan untuk pengikat konstruksi), rancatan (alat pikul), jambatan (jembatan), usuk (tulang atap rumah), ancak (anyaman bambu tempat penganan), carangka (tempat sampah), ceceting (alat untuk mendulang air), cireung (tempat menyimpan/membawa ikan), lodong (mainan seperti meriam), kekeba (wadah penganan), kojong (tempat ikan), pengki (tempat sampah), ranggap (kurung ayam), songsong (alat peniup bara api), telebug (tempat barang), tetenong (tempat menyimpan masakan), bubu (perangkap ikan), babalean (tempat bersantai), gatrik (mainan anak-anak menyerupai kasti), jajangkungan (mainan anak/berjalan dengan peninggian tubuh), perang gobang (mainan anak berupa pedang-pedangan); itu untuk menyebut sebagian saja dari sejumlah benda yang nyaris digunakan sepanjang hari di dalam kehidupan.

Fungsi atau manfaat bambu sejak menjadi tusuk sate, penyangga konstruksi bangunan, kriya, alat musik, bangunan gereja, wadah, jembatan, dan aneka kegunaan lainnya di dalam kehidupan (Foto: HDim & berbagai sumber).*

Yang paling mengemuka setidaknya dalam 10 tahun terakhir ini adalah perkembangan arsitektur serta “bahan bangunan” yang berbahan bambu. Berkenaan dengan itu maka lahir pula sejumlah rancangan arsitektural yang menakjubkan serta demikian melimpah jumlah kreativitasnya. Berikutnya adalah ragam karya seni, baik yang terkategorikan seni murni atau pun seni terapan di ruang publik hingga berbagai bentuk kriya.
Sebut misalnya rumah-rumah bambu atau lebih tepatnya tenda-tenda persinggahan yang dirancang dan direalisasikan oleh arsitek Ming Tang di Cina. Rancang yang kemudian menjadi pemenang “WA Awards, 4th Cycle 2009” ini berdasar kepada gagasan sekaligus kebutuhan rumah singgah bagi korban gempa bumi yang terjadi di Sichuan, Cina, pada 2008. Bisa kita lihat bagaimana menariknya karya Ming Tang ini secara visual, pola strukturnya struktur unik, serta kisi-kisi cahaya dari efek bahan bambu tersebut. Tak kalah menariknya bahwa rancangan ini ternyata memikirkan struktur berkelanjutan, bangunan dapat dilipat dan dibuka dengan mudah, sehingga fungsional sekali sebagai tempat penampungan sementara bagi korban bencana alam apapun.
Sementara itu pada tataran seni murni sekaligus sejenis seni patung yang dihadiekan di ruang publik, tentulah harus menyebut karya-karya Joko Avianto. Bagi warga Bandung tentu pernah menjumpai karyanya antara lain di simpang jalan Pajajaran – Cicendo dan simpang Cicendo – Kebon Kawung. Karya lainnya yang membuat “terperangah” adalah karya instalasi berjudul ’Pohon Besar (Big Trees)’ yang tersusun dari beton dan 1.500 lebih batang bambu dengan panjang setiap bambu sekitar 6 (enam) meter. Instalasi bambu yang dikerjakannya selama tiga minggu ini dipajang di bagian depan Galeri Kunstverein, menghadap ke lingkungan perkotaan Frankfurt, ditampilkan di dalam pameran “ROOTS: Indonesian Contemporary Art” yang kaitannya dengan keikutsertaan Indonesia di dalam Frankfurt Book Fair 2015.
Tenda-tenda persinggahan yang dirancang dan direalisasikan oleh arsitek Ming Tang di Cina. Rancang yang kemudian menjadi pemenang “WA Awards, 4th Cycle 2009” ini berdasar kepada gagasan sekaligus kebutuhan rumah singgah bagi korban gempa bumi yang terjadi di Sichuan, Cina, pada 2008 (Foto dari http://www.bamboosdesign.com/)*.


Langkah Kelanjutan

Bambu yang begitu dekat dengan kebudayaan Nusantara dan khususnya dalam kebudayaan Sunda, bisa dikatakan terus berkembang bahkan sesungguhnya mengalami perkembangan cukup jauh jika dibanding dengan tradisi awalnya. Di bidang konstruksi dan arsitektur atau desain bangunan bambu, misalnya, tampak sekali pada karya-karya Jatnika Nanggamiharja sang arsitek rumah bambu dari Cibinong, kenyataan karya-karya Effan Adhiwira, hingga (jika melihat ke luar) tak terhindarkan untuk menyebut karya-karya Simon Velez.
Perkembangan di bidang kriya bambu bahkan sampai ke seni murni yang telah dirintis lama oleh Ahadiat Joedawinata dan terutama sang istri yaitu Rini Chairin Hayati, kini terus berkembang dengan bermunculnya pakar-pakar baru desain produk yang berkenan turun ke masyarakat pengrajin. Kriya bambu yang semula beredar di kalangan masyarakat (maaf) bawah, kini tak canggung lagi bermunculan di tempat-tempat yang sangat bergengsi.
Meski tak terlalu baru, patut pula dicatatkan di sini bahwa bambu yang semula diperlakukan sebagaimana material alamiahnya yaitu sebagai tanaman berongga (misal menjadi suling, kohkol, angklung, dsb.), dan/atau dan sifat kulit luarnya yang elastis untuk kemudian dimanfaatkan menjadi aneka anyaman; kini bisa diolah, dipadatkan, dibentuk baru dengan istilah baru yaitu teknik laminasi. Dengan teknik ini bambu menjadi berbentuk tak bedanya dengan kayu bahkan dengan tingkat kekuatan dan daya tahan yang lebih baik, maka muncul lah bambu padat berbentuk batangan, lembaran seperti halnya papan, bentuk-bentuk parket untuk lantai, bahkan menjadi aneka furnitur yang serba baru baik desain atau pun teknologi pembuatannya.
Belakangan, dengan teknik menyerupai laminasi, bambu dibuat menjadi sebentuk gitar. Sila bayangkan lekuk-lekuk bentuk gitar yang tak mungkin lagi dibuat dengan sifat alamiahnya bambu. Bahkan, ditangan Endo Suanda dibuktikan bambu pun bisa dibentuk menjadi kendang (gendang), dogdog, biola, kacapi, dalam arti bambu telah berubah menjadi material solid (padat).

Sebagian dari tokoh atau pakar bambu (dari kiri atas searah jarum jam): Elizabeth A. Widjaja, Prof. Dr. Ir. Morisco, Dr. Dwinita Larasati, M.A, Effan Adhiwira, dan Jatnika Nanggamiharja (Foto dari berbagai sumber).*


Mengenal Beberapa Tokoh Bambu
Penulis manakala menyusun artikel-artikel berkait tentang bambu ini, tidak dilandasi asumsi sebagai pakar di bidang bambu, melainkan hanya bermodalkan kenangan, kecintaan, dan harapan terjadinya perubahan perlakuan terhadap bambu secara besar-besaran. Perubahan yang dimaksud, seperti teks serba selintas pada bagian lain tulisan ini, nyata sekali berkenaan dengan kepentingan lingkungan hidup, aspek ekonomi, perkembangan kecendekiaan (baik ilmu pengetahuan atau pun seni), dan/atau sejatinya budaya hingga kemungkinan perkembangan bagi peradaban dan kebudayaannya itu sendiri.
Sejatinya pakar bambu yang pertama sekali harus disebut adalah Elizabeth A. Widjaja. Meski pada dasarnya pengetahuan tentang bambu telah tumbuh di masyarakat secara alamiah dan turun temurun, namun Elizabeth A. Widjaja lah yang paling awal melakukan penelitian-penelitian ilmiah tentang bambu. Ia tercatat sebagai peneliti senior ihwal taksonomi bambu di IPB, dan peneliti di Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI). Salah satu karyanya adalah buku tipis tentang aneka jenis bambu yang diterbitkan LIPI, merupakan buku hasil penelitian dan identifikasi bambu yang tumbuh di Kebun Raya Bogor tersebut selalu menjadi rujukan bagi siapapun yang ingin mengenal bambu lebih jauh.
Pakar teknik struktur bangunan yang kemudian menjadi peneliti bambu sejak 1993 hingga sekarang adalah Prof. Dr. Ir. Morisco. Banyak sekali temuan dan sumbangan ilmunya yang berkenaan dengan bambu, diantaranya adalah cara penyambungan bambu dengan pengisi (1993), alat pengawetan bambu dengan tekanan (1998) yang memperoleh sertifikat paten pada 2004, pelat dinding beton pencetak dengan tulangan bambu (paten 2005), bambu laminasi (2004) dalam bentuk papan yang dapat diaplikasikan untuk dinding, penutup lantai, daun pintu, serta mebel, pengembangan bambu laminasi dalam bentuk balok dapat diaplikasikan untuk kusen, batang-batang struktural yang mampu memikul momen, gaya aksial dan lateral. Pria kelahiran Solo, 8 Februari 1945, ini terus menjadi peneliti bambu dan menjadi dosen tetap pada Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan Fakultas Teknik di Universitas Gadjah Mada.
Seorang yang dikenal sebagai pendekar penghijauan dan pengekspor rumah bambu dari Cimande adalah Jatnika Nanggamiharja. Pria kelahiran Cikidang, Sukabumi, 2 Oktober 1956 ini tak terpisahkan dari tanaman bambu. Produk-produk rumah bambunya, kini telah menjadi komoditas ekspor, antara lain ke Malaysia, Brunei, dan Arab Saudi. Sejak tahun 1985, tercatat telah membangun lebih dari 3.000 rumah bambu. Jatnika senantiasa menyisihkan keuntungan bisnisnya untuk penghijauan tebing sungai terutama di sekitar sungai sebagai penahan tebing. Bambu yang ditanamnya kini sudah merimbun di bantaran Sungai Ciliwung, Cisadane, dan Ciluwer. Di kampung halamannya, Jatnika menanam lebih dari 10 hektar bambu di tepian sungai Cimande. Tanaman bambu tersebut tak sekadar mencegah erosi sungai, tapi juga memberi kesejahteraan bagi warga sekitar. Jatnika pun melatih tenaga ahli pembuatan rumah bambu, mereka bahkan dibekali kemampuan olahraga bela diri pencak silat Cimande. Jatnika pernah menerima penghargaan sebagai pembuat rumah bambu tradisional terbanyak dari Ikatan Arsitek Indonesia pada tahun 2009.
Jika kita ke Bali, hendaknya sempatkanlah ke sekolah alternatif yang berkelanjutan, yaitu Green School yang dibangun dan direalisasikan oleh pasangan John dan Cynthia Hardy pada tahun 2008. Di sana akan kita lihat bangunan ramah lingkungan serba bambu yang begitu menakjubkan. Di balik itu, yang hendak kita catat di sini, adalah seorang pria yang relatif masih muda yaitu Effan Adhiwira, kelahiran Jakarta, 19 September 1982. Pada 2007 Effan mendaftar ke PT Bambu yang pada saat itu sedang memulai proyek Green School. Sarjana arsitektur lulusan Universitas Gadjah Mada 2005 ini, tentu sebelumnya telah mendapat bekal dari Prof. Dr. Ir. Morisco, tapi kiranya di Green School itulah ia mengalami titik-balik dan mendapatkan ruang kesempatan untuk merealisasikan gagasan-gagasannya yang antara lain berupa teknik lengkung untuk bambu. Belakangan Effan merintis dan mengembangkan lembaganya sendiri yang bernama “eff studio,” sejak itu pula karya mandirinya berupa arsitektur hingga seni instalasi bermunculan di mana-mana. Untuk menyebut alakadarnya saja, karya Effan Adhiwira antara lain adalah bangunan Dodoha Mosintuwu di pinggiran danau Poso, Sulawesi tengah, dan restoran Bamboe Koening di Bali.
Demi menatap ambahan masa depan bambu yang lebih jauh, patut kiranya kita menyebut Dr. Dwinita Larasati, M.A. sebagai peneliti, pakar, ilmiahwati, dan aktivis bambu yang relatif masih tergolong muda. Ia menyelesaikan studinya di bidang Desain Produk, Departemen Desain, Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (ITB) 1997, dan meraih gelar Doktor (Dr.), bidang Urbanism dan Materials Science & Sustainable Construction, Faculty of Architecture dan Faculty of Civil Engineering & Geosciences, di Delft University of Technology, Delft, Belanda, 2007. Panjang sekali jika harus menguraikan seluruh kegiatan peraih penghargaan Teknologi Inovator, Hari Kebangkitan Teknologi Nasional ke-15, Kementrian Riset dan Teknologi, 2010 ini. Di antara sederet aktivitasnya, Tita (demikian panggilannya sehari-hari) nyaris tak henti turun langsung ke masyarakat pengrajin demi pengembangan desain baru kriya bambu. Ia pun termasuk yang gigih sejak merancang hingga merealisasikan teknologi hibrida, yaitu teknologi pengolahan bambu dengan tetap merawat keahlian atau metoda tradisional pada masyarakat yang dipertemukan dengan teknologi baru hingga membentuk teknologi hibrida. Itu dikembangkannya demi melipat-gunakan potensi bambu sekaligus demi meneguhkan gagasannya yang terus diperjuangkan yaitu “bambu sebagai bahan berkelanjutan bagi kebutuhan hidup.”
Itu, tentu saja, teramat sedikit saja dari pakar atau tokoh bambu yang ada di Indonesia. Tujuannya memang bukan hendak menguraikan daftar nama-nama tokoh, melainkan sekadar menggambarkan bahwa bambu yang begitu dekat dengan kebudayaan Nusantara itu ternyata terus berlanjut. Sebagai penutup, izinkan menurunkan penggalan pusat pikiran Tita Larasati yang tertuang di dalam thesisnya: “Bambu tumbuh di seluruh pulau dan kepulauan Indonesia, dan telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia sejak berabad-abad yang lampau. Disebabkan pertumbuhannya yang demikian cepat, bambu pun pada gilirannya diyakini bisa menjadi sumberdaya berkelanjutan (sustainable resource). Meski bambu tergolong ke dalam keluarga rumputan, kenyataan teknisnya ternyata menyerupai sifat-sifat kayu, maka amat sangat memungkinkan untuk menggantikan dan/atau sekurang-kurangnya menjadi sela di dalam penggunaan kayu yang cenderung kian mencemaskan ketersediaannya,
Ada tiga faktor utama yang sangat mungkin bagi pengembangan bahan alam yang luar biasa ini, yaitu (1) kontribusi teknologi madia (advanced technology) dan metoda pengolahan yang bisa meningkatkan kualitas bambu, (2) menyelia sumberdaya manusia tepat guna melalui penerapan teknologi tepat guna, dan (3) memperkenalkan desain-desain yang telah teruji untuk mendorong terciptanya produk-produk fungsional bagi potensi pasar yang lebih luas. 

(Herry Dim, pelukis, pengamat kebudayaan, eseis, tinggal di Cibolerang, Bandung).***


Rangkaian tulisan ini telah dimuat di “Selisik/Pikiran Rakyat,” Senin, 5 Desember 2016, dalam versi yang telah diedit untuk kepentingan media.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Paradigma Budaya Eks Palaguna

Harry Roesli Sang Jenius Monumen Musik Indonesia