Ex-Palaguna Jadikan Hutan Kota!
Oleh: Herry Dim
Tindakan
mengejar keuntungan dengan mengorbankan alam dan peradaban, bukanlah
pembangunan melainkan perusakan. Hal ini tidak boleh dibiarkan, karena
peradaban Suku Naga lebih matang dan dewasa daripada peradaban
yang akan dipaksakan kepada mereka.
(Rendra, petikan dialog pada naskah "Kisah
Perjuangan Suku Naga," manuskrip, Yogya, 19 Juli 1975)
KAMIS, 8
Desember 2016, kami duduk bersama dengan Tim Cagar Budaya (TCB) kota Bandung
untuk membincangkan lahan bekas gedung Palaguna yang terletak di pusat kota,
tepatnya di kawasan alun-alun Bandung. Pertemuan yang berlangsung di sebuah
hotel, itu berjarak dua tahun dengan aksi seni “Beri Kami Paru-paru Bukan Mall
dan Pertokoan” in situ ex-Palaguna, 2
November 2014, sebagai bagian dari rangkaian Annual Jeprut #1 dengan kurator Tisna Sanjaya.
Di dalam
pertemuan dengan TCB kota Bandung, suara Annual
Jeprut #1 dua tahun lalu itu pun muncul kembali. Di sana, sejumlah seniman
beserta para aktivis lingkungan hidup, antara lain meredih (meminta dengan sangat) agar lahan ex-Palaguna itu dijadikan
hutan kota. Harapan tersebut, tentu saja, arahnya ditujukan kepada pemerintah
kota (sebagai pemegang regulasi perizinan) dan pemerintah provinsi Jawab Barat
sebagai pemilik aset atas lahan tersebut. Sempat pula tersampaikan bahwa
seniman manakala melakukan “aksi” dua tahun lalu, itu bukanlah dalam rangka pupujieun (harapan ingin dapat pujian),
bukan pula mawa karep sorangan (hanya
mengikuti keinginan dan/atau kesukaan sendiri tanpa menimbang yang lain). Itu
dilakukan semata-mata karena cinta kepada kota Bandung, demi wibawa kota
Bandung sendiri, dan demi sehatnya warga kota Bandung baik secara budaya atau
pun jasmaninya. Cinta yang disampaikan demi kota Bandung, itu pun bukanlah
“cinta buta” mengingat di belakangnya adalah landasan dengan pandangan ke masa buhun (masa lalu), pandangan kekinian
yang berkenaan dengan perkembangan pusat kota Bandung dari waktu ke waktu, atau
pun ke masa depan.
Seluruh
Kota Niaga di Dunia
Memiliki
Hutan Kota
KAMI,
sejumlah seniman Bandung, bahkan memikirkan pula kawasan alun-alun Bandung itu
sebagai kawasan niaga, dan tentu sangat berharap agar berkembang kian baik demi
menyangga perekonomian kota Bandung. Tapi, pertanyaannya, apakah betul demi menyangga
perekonomian tersebut itu hanya ada satu-satunya jalan yaitu dengan membangun
dan menambah kembali pertokoan dan sejenisnya?
Menyangga
kehidupan perniagaan, dalam kategori posisi hubungan pemerintah dan
masyarakatnya, kiranya tidaklah tepat jika pengertiannya adalah ikut-ikutan
membangun toko dan apalagi ikut berdagang. Pun akan segera terlihat sebagai
pemerintahan yang tidak bijaksana jika kewenangan dan kepemilikan asetnya itu
dijual atau disewakan kepada pemodal yang kemudian setali tiga uang membangun pertokoan atau sarana niaga lainnya.
Sejatinya tugas pemerintah itu justru harus mampu menciptakan kenyamanan,
kehidupan yang lebih manusiawi, dan rasa aman; sehingga belanja atau berniaga
di suatu kawasan itu menjadi terasa indah, berkesan, dan/atau barang-barang
yang dibeli di kawasan tersebut “terasa” (dalam tanda petik) lebih berarti
ketimbang dibeli di tempat lain.
Konsep pusat
niaga yang berarti, kini relatif menjadi acuan umum kota-kota niaga di dunia.
Sebut misalnya Tokyo yang demikian sibuk, bahkan di area metropolitannya
terus-menerus ditanami pohon dan berbagai tanaman urban. Hong Kong
mengembangkan program pengendalian erosi tanah, memperbaiki daerah lahan kritis
di pinggiran perkotaan, sekaligus meningkatkan tempat-tempat rekreasi ekologis.
Singapura memang sejak pertumbuhannya telah menanamkan kebijakan hutan kota (urban forestry policies) sehingga
dikenal sebagai ‘kota tropis yang unggul dan hijau.’ Shanghai yang semula
dikungkung masalah pencemaran udara, kini mengembangkan moda-moda hutan kota (Urban Forests) bahkan telah berhasil
membangun taman baru di pusat kota. Sydney yang semula mengalami masalah pencemaran
pesisir karena perkembangannya yang pesat, maka melakukan kontrol pesisir dan
konservasi air. Pemerintahannya bahkan memberlakukan reformasi harga air, dan
melibatkan masyarakat dalam menjalankan strategi lingkungan. Dubai, tidaklah
kalah menarik, antara lain mengembangkan prinsip-prinsip etik lingkungan hidup
yang berlaku di dalam ajaran Islam. Demikian sekadar contoh-contoh alakadarnya.
Beri Kami Paru-paru
Kalangan
geolog dan antropolog memperkenalkan istilah "Mangkuk Purba Cekungan
Bandung," yaitu bentukan bumi ratusan ribu tahun lalu. Bentangan cekungan
Bandung berbentuk elips dengan arah timur tenggara-barat laut, dimulai dari
Nagreg di sebelah timur sampai ke Padalarang di sebelah barat. Jarak horizontal
cekungan sekitar 60 kilometer. Adapun jarak utara-selatan sekitar 40 kilometer.
Di manakah
kira-kira titik pusat dari cekungan itu? Jawaban ilmiahnya baik kita serahkan
saja kepada para pakarnya. Catatan ini hanya berkehendak menyatakan: mestinya
titik pusat cekungan Bandung itu bukanlah tempat samanea (bukan tempat sembarangan), berkenaan dengan itu sesepuh
kita zaman dulu mengingatkan:
Sumur Bandung
méré karahayuan ka rahayat Bandung.
Sumur Bandung
méré karahayuan ka dayeuh Bandung.
Sumur Bandung
kahayuning dayeuh Bandung.
Kalaupun
Daendels menancapkan tongkat dan berharap di sana tumbuh kota, tampaknya pada
dia pula kesalahan awal terjadi. Ketika ia menyatakan “Zorg, dat als ik terug
kom hier een stad is gebouwd!” (Usahakan, bila aku datang kembali ke sini,
sebuah kota telah dibangun!), ia tak memperhitungkan adanya semacam "tanah
larangan" yang seyogianya dijaga. Kesalahan Daendels berikutnya diikuti
oleh Prof. Charles Prosper Wolff Schoemaker, dan berlanjut pada masa “kegilaan”
bioskop di masa awal tumbuhnya perfilman. Rujukan tata-kota dari masa ke masa
pun umumnya berlandas pada masa “kegilaan” bioskop, hampir tak ada yang
menyinggung bahwa di sana ada tempat yang tidak samanea bernama Sumur Bandung.
Sebagai
penutup, perubahan terakhir alun-alun Bandung terjadi pada tahun 2001, di masa
pemerintahan H.A.A Tarmana yang kelak berlanjut di masa Walikota Bandung H.
Dada Rosada, M.Si. dan Gubernur Jawa Barat, Drs. H. Danny Setiawan, M.Si. Saat
itu Masjid Raya Bandung diperluas, alun-alun diubah jadi berbeton dan di
bawahnya dibangun 2 lantai area parkir, diresmikan pada 4 Juni 2003.
Pertanyaannya: kemana perginya air yang seharusnya meresap di alun-alun?
Mengapa tak segera disediakan penggantinya sebagai area resapan dan paru-paru
kota Bandung?
Komentar
Posting Komentar