Perkara Rupa Kekinian atau Kontemporer

Catatan: Herry Dim

Di tengah pengerjaan tulisan ini, muncul kiriman foto lukisan “Rumah-rumah Berasap #1” dari pelukisnya, Eddy Hermanto, melalui jejaring bukuwajah (facebook). Lukisan cat minyak di atas kanvas ukuran 200 X 200 cm bertarikh 2010 tersebut, memperlihatkan pola atau tata-susun piktoral primitif, gambaran rumah-rumah serta benda-benda lain tampak tanpa perspektif, tanpa dimensi keruangan dari cara pandang yang berasal dari satu titik pusat pandang; melainkan bertumpuk, rasa dimensi dan keruangan dihadirkan dengan cara pola susun dari bawah ke atas, rumah-rumah atau benda-benda jauh sama dekatnya dengan rumah-rumah atau benda-benda yang lebih dekat ke jarak si penglihat atau pun pelukisnya. Tapi ajaibnya, efek pengolahan bidang dari tumpukan tersebut, penghadiran hal-hal yang bersifat ornamentik, munculnya elemen garis-garis vertikal hitam putih, serta perwarnaannya sungguh mengesankan teknik perupaan yang sangat modern. Bahkan visi thematiknya mencerminkan persoalan kekinian (kontemporer), dunia urban yang telah padat, sesak, dan manusia-manusianya berebut udara karena langit telah dipenuhi asap-asap pengap.
Dalam waktu tidak terlalu berjauhan, Rahmat Jabaril bersama istrinya, Ika Ismurdyahwati, berpameran bersama dengan tajuk “Perkawinan” di Babakan Siliwangi, Bandung. Bukan saja ‘kaget’ oleh perubahan besar Jabaril yang biasanya mengungkap thema-thema luaran dengan isu-isu sosial tapi kini ia/mereka ‘melihat’ kehidupan dari dalam atau dari kehidupannya terdekat, tapi juga orientasi karya lukisnya yang mengalami perubahan besar. Lukisan-lukisan Rahmat yang biasanya cenderung berteriak atau tepatnya mengerang dengan sejumlah figur-figur yang mengalami pembesaran dan keras, kini figur-figur itu tampil tersusun kecil-kecil di dalam pola-pola yang sebagian besarnya mengimpresikan lingkaran. Dengan ditampilkan tanpa warna, hitam – putih, kecuali sedikit percikan atau coretan merah, kebentukannya pun menjadi terasa masif, suwung ketimbang ekstrovert seperti sebelumnya. Yang tetap adalah kejujurannya, tidak ada pretensi berindah-indah, semua dibiarkan hadir apa adanya. Maka jika di sana ada protes seperti yang biasanya dilakukan oleh Jabaril melalui sejumlah demonstrasi atau pun karya-karya sebelumnya, maka protesnya kini menjadi semacam protes ‘nyanyi sunyi,’ diam tapi berpusar, menjadi tidak hanya berefek sosial tapi juga transendental; seperti halnya kalau tarawangsa atau sekadar jaleuleu ja dimainkan.
Kedua fenomena dari dua pelukis di atas, hemat penulis, adalah cara liyan seniman kontemporer kita yang tidak tergusur oleh isu-isu besar di luar dirinya melainkan beranjak dari dirinya sendiri, lantas menyelesaikannya ke dalam bentuk karya dengan caranya masing-masing.
Hal liyan tersebut berbeda dengan sejawatnya yang cenderung bernafsu menjadi ahli waris kebudayaan dunia,[1] memakai thema dunia semisal “Hilangnya Kenyataan” (the Loss of the Real) karena memang beranjak dari kasus dunia yang telah dimampatkan oleh teknologi informasi;[2] lantas oleh kuratornya dihiasi rujukan-rujukan teori pasca-modern yang padahal nafsu agar ‘seperti yang dilakukan orang lain di dunia’ itu tak lain dari nafsu modernis, nafsu menjadi ahli waris kebudayaan dunia. Yang padahal sejatinya para juru bicara pasca-modern sedang melawan itu semua. Paul Ricoeur, misalnya, menyadari bahwa manakala kita menyingkap  kenyataan sejumlah kebudayaan maka pada saat itu pula yang terjadi adalah berakhirnya monopoli kultural.

[INI SEKADAR TULISAN TAK BERUJUNG BAHKAN TAK BERPANGKAL, DAN MENGGANTUNG TAK SELESAI]











[1] Bagian dari premis atau pernyataan Surat Kepercayaan Gelanggang, yang bagian lengkapnya dibahas di dalam buku ini.

[2] The Loss of the Real, pameran karya 14 seniman media baru yang bermaksud memperlihatkan situasi di abad informasi, pembukaan pameran 18 Juli 2010, di Selasar Sunaryo Art Space.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Paradigma Budaya Eks Palaguna

Tak Ada Lagi "Awi jeung Gawirna," Banjir dan Longsor pun Berdatangan

Harry Roesli Sang Jenius Monumen Musik Indonesia