Minat Baca Masyarakat Indonesia Rendah Sekali

Oleh: Herry Dim

SENIN siang menjelang petang, 7 November 2016, terjadi pertemuan informal dengan Drs. Mahpudi, SIK, M.T selaku Wakil Ketua 2 IKAPI Jabar, di sebuah kedai kopi. Ia yang baru saja tiba kembali di tanah air setelah mengikuti berjalannya peristiwa Frankfurt Book Fair 2016, banyak sekali menyampaikan informasi penting seputar pasar buku terbesar di dunia tersebut, termasuk diantaranya kabar tentang kuliner Indonesia yang menjadi hit alias paling diminati di sana. Tentang hal itu, kiranya, perlu juga dibuatkan catatan khusus. Tapi, kali ini, yang terasa mendesak adalah perkara minat baca umumnya masyarakat Indonesia yang begitu rendah.
“Gerakan kita memasarkan buku ke pasar pembeli hak cipta dan penerbit di luar negeri itu amat penting, tapi yang justru sangat mengkhawatirkan adalah kenyataan kian merosotnya minat baca bangsa kita,” ujar Drs. Mahpudi, SIK, M.T disertai lintasan gambaran data yang dimiliki IKAPI Jabar. Dalam pembicaraan petang itu, muncul lagi sejumlah gambaran umum akibat dari rendahnya minat baca semisal masyarakat yang cenderung sulit bahkan kerap “gagal” paham terhadap permasalahan, munculnya gelombang massa yang tidak dibentuk oleh pemahaman melainkan hanya dari “mendengar” dan kemudian manut, ketaksanggupan memandang secara komprehensif melainkan berpandangan sempit, pendek, dan dangkal. Ringkasnya, ada kecemasan terjadi atau munculnya gelombang massa yang rendah sekali kualitas intelektualnya.
Sesungguhnya hal yang mencemaskan tersebut bukanlah hal baru bahkan terus berulang pula terucapkan. Manakala penulis masih aktif di Majalah Sastra Horison sebelum tahun 2000an, misalnya, sudah kerap sekali mendengar satrawan Taufiq Ismail yang mengeluhkan keadaan yang buruk ini. Tak hanya berkeluh-kesah, Taufiq Ismail pun merancang dan menjalankan program-program demi meningkatkan minat baca terutama di kalangan pelajar.
"Minim sekali minat baca para pelajar sekarang. Kalau dulu jaman Hindia Belanda, seorang pelajar tingkat menengah selama tiga tahun harus membaca minimal 25 buku. Buku-buku tersebut ada di kurikulum dan disediakan di perpustakaan. Lalu buku tersebut harus dirangkum dan akan diujikan," ujar Taufiq Ismail seperti yang disampaikannya di berbagai forum, bahkan itu pula yang menjadi inti pidatonya yang disampaikan saat menerima gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Negeri Yogyakarta, 2003. Sastrawan penerima Anugerah Seni dari Pemerintah RI, 1970, itu pun menandaskan bahwa tinggi atau rendahnya minat baca itu merupakan tolok ukur kecerdasan masyarakat. “Semakin tinggi minat baca masyarakat maka makin tinggi juga wawasannya,” tandasnya.
Kecemasan Mahpudi dari IKAPI Jabar, Taufiq Ismail, atau mungkin pula kecemasan kita semua itu cukup beralasan  mengingat hingga saat ini Indonesia masih menempati urutan ketiga terbawah di kawasan ASEAN, atau berada sedikit saja di atas Kamboja dan Laos dalam hal minat baca. Berdasarkan indeks nasional, tingkat minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,01. Sedangkan rata-data indeks tingkat membaca di negara-negara maju berkisar antara 0,45 hingga 0,62. Sementara merujuk pada hasil survei United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) 2011, indeks tingkat membaca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen. Artinya, hanya ada satu orang dari 1000 penduduk yang masih mau membaca buku secara serius. Kondisi ini menempatkan Indonesia pada posisi 124 dari 187 negara dalam penilaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Data lain dari hasil penelitian Central Connecticut State University untuk Peringkat Literasi Negara-negara di Dunia (World's Most Literate Nations), Indonesia berada pada peringkat ke-60, satu tingkat di atas Botswana dan satu tingkat di bawah Thailand. Sementara lima peringkat tertinggi, secara berurut dipegang oleh Filandia, Norwegia, Islandia, Denmark, dan Swedia. Negara-negara besar dengan urutannya masing-masing AS (7), Jerman (8), Prancis (12), dan Inggris (17).

Gelorakan Perpustakaan Umum

Minat baca manakala dikaitkan dengan minat belanja buku pada masyarakat, maka “kambing hitam”nya adalah daya beli. Memang, daya beli masyarakat Indonesia pada umumnya itu sangat rendah dan/atau jauh di bawah daya beli masyarakat negara-negara yang memiliki peringkat literasi tinggi seperti disebut di atas. Fluktuasi atau naik-turunnya daya beli masyarakat pun tak pernah bergerak signifikan, jika bergerak naik pun peruntukannya masih ke perkara kebutuhan pokok. Meski, di sisi lain, ada pula keanehan berupa data statistik belanja kendaraan bermotor di Indonesia yang terus meningkat, kemacetan di seluruh perkotaan merupakan indikasi yang mudah sekali dilihat.
Suka atau pun tak suka, mari kita pegang sang “kambing hitam” ini, sambil tak usah sungkan mengakui bahwa minat baca rata-rata bangsa Indonesia cenderung masih jeblok, sangat rendah. Pengakuan ini mungkin terasa menyakitkan atau sekurang-kurangnya membuat kita merasa malu, tapi demi kesembuhan dan bangkitnya kembali bangsa ini maka kejujuran untuk mengakui tersebut menjadi penting. Cara cepat atau jalan pintas (short cut) untuk sembuh dari kedodorannya minat baca serta terbebas dari problematik “kambing hitam” daya beli, berbagai pihak dan terutama pemerintah seyogianya membangun perpustakaan yang lengkap hingga ke pelosok-pelosok.      
Tak ada salahnya kita belajar dari Jepang yang kemudian dikenal sebagai bangsa “gila baca.” Bangsa ini tak akan mengalami Restorasi Meiji (1868) jika tidak dimulai dengan kesadaran dan mengakui keterkebelakangnya. Sejak itu ghirah belajar untuk merebut ilmu dan teknologi dibangkitkan. Basis atau tulang punggung pembelajaran dan kebangkitan tersebut terletak pada ketersediaan perpustakaan. Jaminan pendidikan di Jepang untuk memajukan generasi muda itu terletak pada perpustakaan yang sekaligus menjadi andalan bagi sekolah-sekolah, dan kemudian tanda kecendekiaan kota-kota kecil hingga pedesaan dengan membangun perpustakaan-perpustakaan yang tidak kalah lengkap, merenah, merangsang minat baca.
Pemerintah kita, jika memang bercita-cita terjadinya perubahan, seharusnya mempermalukan, membangkitkan rasa berdosa, dan jika perlu tidak memberi izin kepada pengembang untuk membuat kampung baru, kampung urban, atau kompleks perumahan seandainya mereka tidak membangun perpustakaan. Kelak, manakala perpustakaan telah bertumbuhan, tugas berikutnya terletak pada guru dan para orang tua untuk memotivasi semesta anak-anak untuk datang ke perpustakaan dan membaca.
Hanya dengan itu perubahan dan peningkatan kecendekiaan terjadi. “Bagaimana mungkin anak-anak dibiarkan untuk memahami dunia dengan membaca pesan twitter yang hanya terdiri dari 140 karakter, menganggap sudah selesai dan paham setelah baca status facebook, menarik kesimpulan melalui meme atau gabungan gambar dan teks pendek di internet,” kata Mahpudi di ujung obrolan sambil tertawa pahit. (Herry Dim, seniman, pengamat kebudayaan, eseis, tinggal di kota Bandung).***



Dikirim ke Galamedia, 8 November 2016, dimuat 23 November 2016


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Paradigma Budaya Eks Palaguna

Tak Ada Lagi "Awi jeung Gawirna," Banjir dan Longsor pun Berdatangan

Harry Roesli Sang Jenius Monumen Musik Indonesia