Sempatkan Mundur agar Kita Maju
(Kertas pengantar bedah
buku Jakob Sumardjo “Sunda: Pola Rasionalitas Budaya”)
Oleh: Herry Dim
DI tengah keramaian
berlangsungnya aksi #saveXpalaguna dan di antara sejumlah karya seni yang hadir,
muncul lah tiga sosok dengan kepala dalam kotak berhimpit, mereka berjalan
mundur sambil menyanyikan “Indonesia Raya” dan “Hallo-hallo Bandung.” Hadirin
yang memadati jl Asia-Afrika di sekitaran depan eks Palaguna pun terperangah,
sebagian besar mendekat sambil bertanya-tanya: apa kiranya maksud dari
“kegilaan” tiga anak muda ini?
Tentu tak semua faham
dengan ekspresi tiga anak muda dari Invalid
Urban ini, apalagi ketika mengikuti pesan teksnya “Berjalan Mundur,
Strategi Menghadapi Kemajuan.” Apakah mereka anti-kemajuan?
Tapi kiranya, sesiapa pun
yang hadir bisa ikut merasakan (emfati atau feeling
into) bahwa kepala di dalam kotak itu pengap, panas, minim ruang bernafas,
maka begitu sulit untuk bisa menyanyikan lagu "Indonesia Raya" atau
pun "Hallo-hallo Bandung."
Itulah seni, lebih sering
(pada awalnya) tidak untuk dimengerti atau difahami melainkan untuk dirasakan.
Lewat gerbang feeling into barulah
tabir pengertian disingkap. Dari sana kita menjadi tahu bahwa anak-anak muda Invalid Urban itu sedang menyampaikan satire peradaban kontemporer. Mereka
mempertanyakan kembali arti "kemajuan" (baik perkembangan kota atau
pun kehidupan pada umumnya). Mereka melihat adanya "kemajuan" yang
disorientasi, kehilangan arah, dan cenderung semena-mena. Mereka pun bertanya:
inikah kemajuan?
Anak-anak muda ini pun
kemudian berjalan mundur, menyempatkan surut ke belakang demi meredefinisikan
kembali kemajuan. Tanpa kata-kata kecuali nyanyian yang terus menerus mereka
lagukan, tapi di dalam kepala kita sebagai penonton tumbuhlah penyadaran bahwa
“maju” itu mesti jelas "tetekon"nya, itu sejatinya kemajuan, dan/atau
bukan kemajuan yang artifisial dan merusak. Untuk menemukan kembali
"tetekon," tentu tak mudah karena sudah keburu terkubur kemajuan yang
cenderung manipulatif (kemajuan berdasar aturan normatif yang telah diotak-atik
dan tak pernah bertanya kepada sejatinya kehendak atau pun kebutuhan dan tetekon publik). Meski dengan cara sulit
dan bahkan perjalanan panjang seperti yang mereka lakukan berjalan mundur dari
Buahbatu hingga ke jl Asia-Afrika, "tetekon" itu harus kita temukan
kembali, dari sana seyogianya kita tentukan sejatinya arah kemajuan kita.
Tetekon
TETEKON terjemahan
harfiahnya adalah pijakan, way of life,
jalan hidup. Salasatu tetekon yang dikenal adalah Pikukuh Baduy yang kemudian menjadi jalan hidup umumnya masyarakat
Sunda.[1] Dan manakala membaca buku
“Sunda : Pola Rasionalitas Budaya” yang ditulis Jakob Sumardjo (Kelir, 2015),
inilah kiranya kitab kumpulan tetekon Sunda yang mendekati lengkap agar tidak
terlalu angkuh dengan mengatakan terlengkap sepanjang sejarah penerbitan
buku-buku tetekon di masa modern hingga pasca-modern ini. Luar biasanya lagi,
buku ini tidak sekadar melakukan deskripsi atas fakta, artefak, mitos, cerita
(atau uraian lisan), teks sejumlah pantun dan sumber-sumber lainnya, melainkan
menyuruk dengan pendalaman hermeneutika sehingga sampai kepada akar-akar (radix) seperti yang umumnya dilakukan di
dalam tradisi filsafat.
Buku ini memuat tidak
kurang dari 57 tulisan dan satu tulisan penutup, terbagi atas enam bab yaitu
pendahuluan, kosmologi, mitos-mitos, artefak budaya, perspektif, dan penutup.
Dalam rangkaian uraian tak kurang dari 394 halaman, Jakob Sumardjo menunjukan
bahwa Sunda berlandas pada sistem hubungan tiga yang disebut azas tritangtu:
tiga itu sebenarnya satu, dan yang satu itu tiga adanya. Azas tritangtu ini
kemudian hadir di dalam tata Kampung
Sunda, rumah Sunda, angklung Sunda, kujang, pantun Sunda (JS: hal 21).
Jika kita membaca buku “Sunda
: Pola Rasionalitas Budaya” dari awal hingga selesai, niscaya akan kita temukan
bahwa azas tritangtu ini bertebar di dalam pola kosmologi Sunda, hadir di dalam
mitos-mitos, dan tertera pula pada artefak-artefak budaya, hingga kecenderungan
cara padang (perspektif) masyarakat Sunda. Singkatnya itulah yang menjadi jalan
hidup dalam menentukan dan menjalani segala hal di dalam kehidupan.
JS tidak memungkiri bahwa
Sunda itu beragam dan dari masa ke masa mengalami perubahan. Namun dalam
rentang waktu cukup panjang yaitu sejak pra Hindu, masa Hindu, hingga masa
Islam, terbukti bahwa azas tritangtu itu tak lekang. Itu berjalan
turun-temurun, adaptif dengan lingkungan dan kehidupannya; dan itulah yang
kemudian disebut tradisi.
Kilasan tentang Tradisi dan Tradisional
BAGI manusia terkini
(kontemporer) mungkin menyimpan pertanyaan: apa guna semua masa lalu itu? Bisa
juga dalam pernyataan sedikit berbau cemooh, semisal: itu dunia lapuk yang
tidak kompatibel atau tak bisa dioperasionalkan lagi di dalam kekinian. Atau di
dalam bahasa anak muda “itu kan tradisi, udah gak nyambung lagi sama zaman
modern.”
Sadar atau tidak kita
sadari, pertanyaan dan pernyataan yang bahkan kekanak-kanakan seperti bahasa
anak muda, itu nyatanya nyaris berlaku di kecenderungan berpolitik,
penyelesaian persoalan ekonomi, penentuan kebijakan di dalam tatanan sosial,
dan sedihnya jadi kecenderungan umum pula di tataran akademik. Hasilnya adalah
seperti yang kita rasakan sekarang; tampak luar peradabannya seperti maju,
kendaraan bagus terus bermunculan, dunia (komunikasi) dalam genggaman, seni
telah masuk ke dalam pergaulan yang sama yaitu kontemporer, konon demokrasi
kita pun disebut paling terbuka. Namun, pada saat yang sama, langkah bangsa dan
negara ini nyaris seperti tanpa tujuan, ekspresi kebingungan dan kekakuan
hubungan antar-manusia terjadi di pasar dan apalagi di jalanan, uraian-uraian
akademik mencapai kerumitan (katanya ilmiah) yang amat-sangat tapi seringkali
jauh dari kehidupan malah membingungkan dan/atau tak menjadi praxis sosial, kebenaran (hukum,
tindakan sosial, timbangan dan keputusan kenegaraan) amat bergantung pada
besaran kuasa atau dalam posisi tekan-menekan.
Bersama modernitas yang
kekanak-kanakan itu, alam pun ikut rusak dalam percepatan tinggi. Ketika musim
hujan, bermunculan berita tentang banjir dan longsor yang bertubi-tubi
menghampiri kota dan pedesaan di seluruh Indonesia. Kala kemarau datang, bertubi-tubi
pula kabar tentang tanah yang kekeringan, gagal panen, dan gambaran rakyat yang
harus pergi jauh untuk mendapatkan sekadar seember air bersih.
Semua ini, kiranya,
bermula dari kesalahpahaman tentang tradisi. Dua belah pihak (yang suka dan
yang tak suka), cenderung mengartikan tradisi itu sebagai masa lalu yang
berdiam di kemasalaluannya, permanen bahkan harus dipermanenkan, dan akhirnya
diperlawankan dengan modern serta modernitasnya, apalagi dengan “kegagahan” pasca-modern.
Akibatnya, seperti kanak-kanak, tak pernah tahu bahwa telefon cerdas di
genggamannya itu memiliki hubungan yang tak terputus dengan peradaban “sinyal
asap” wangsa Indian; rentang jauh berabad-abad itu berada pada satu tradisi
yang sama yaitu tradisi komunikasi. Di balik rentang waktu itu adalah
perkembangan ilmu dan pengetahuan yang terus-menerus berkembang bahkan hingga
kini. Perkembangan ilmu dan pengetahuan menjadi mungkin terjadi karena tak
putus-putusnya terhubung ke tradisi komunikasi tersebut.
Tulisan ini bisa
diperpanjang ke gambaran “tempat kencing” (urinoir)
Marcel Duchamp yang sesungguhnya terhubung kepada tradisi rupa jambangan Yunani
kuno hingga lukisan-lukisan goa. Pun penentuan sikap (politik, jalan hidup, dsb)
seperti kekaisaran Jepang menjadi “Jepang” terkini, serikat wangsa-wangsa
Amerika menjadi AS, atau tradisi yang bermula dari kekaisaran Roma hingga
menjadi Jerman terkini, dan seterusnya. Singkatnya, itu semua jalin-menjalin
dalam satu mata rantai tradisi (senirupa, politik, dan sistem tatanan kehidupan
sosial). Dalam perjalanan tradisi itu lahirlah temuan-temuan, ilmu, dan teknologi.
Dan/atau, jika dibalik, temuan-temuan, ilmu, dan teknologi itu bermunculan
karena adanya tradisi yang terus berlangsung.
Uraian ini tak lain demi
menyampaikan betapa pentingnya kitab “Sunda : Pola Rasionalitas Budaya” yang
ditulis JS. Tradisi seperti yang dimaksud pada uraian ringkas di atas, itu
hanya bisa berlangsung jika ada titik pusat orientasi. Tak akan muncul temuan Galileo
Galilei jika sebelumnya tak ada Copernicus, dan tak akan ada ilmu yang lahir
dari Copernicus jika tak ada titik pusat orientasi tradisi keilmuan astronomi. Buku
JS bisa disebut sebagai titik pusat orientasi bagi Sunda untuk mengembangkan
dirinya.
Subjudul pada bagian
tulisan ini menyebut pula istilah tradisional. Ini perlu dikemukakan karena
seringkali pengertian tradisi dan tradisional itu tumpang-tindih dan simpang
siur.
Tradisional, tentu saja,
merupakan kata sifat. Keberadaannya sangat penting mengingat demi
keberlangsungan tradisi seperti terurai di atas. Sifatnya berkenaan dengan konservasi,
upaya-upaya keterjagaan masyarakat adat, museum-museum, atau kitab-kitab
seperti yang ditulis JS. Inilah titik pusat orientasi, pikukuh, tetekon bagi
berjalanannya tradisi sehingga ketika kemanapun tradisi itu berjalan maka akan
terbaca perjalanannya sebab “tangtu” awal-muasalnya. Karena adanya patok “tangtu”
pula maka akan terlihat suatu wangsa itu maju, jalan di tempat, atau sebaliknya
mengalami kemunduran dalam peradaban dan kebudayaannya.
Penutup
KINI, mudah-mudahan, gambaran
tiga anak muda Invalid Urban yang diuraikan di atas, itu terhubung dengan konstruksi
pikiran tulisan ini. Justru karena mereka itu seniman-seniman muda maka
dirasakan sangat menarik. Mereka ternyata memendam kegelisahan dan kerinduan
untuk menemukan masa lalu demi kemajuan yang mereka kehendaki, yaitu bukan
kemajuan yang mereka sebut generik. Dalam kalimat-kalimat aslinya mereka
menulis:
“Kemajuan”
telah dijadikan ukuran umum tentang baik atau tidaknya suatu masyarakat di
segala bidang. Ia telah menyerupai obat generik yang digunakan untuk
menyelesaikan berbagai persoalan mulai sosial, kultural, ekonomi, politik,
bahkan mental.
Tak heran jika banyak yang memanfaatkan kata “kemajuan”
untuk memenuhi berbagai kepentingan, seperti membangun pabrik, hotel,
supermarket, dan sebagainya. Sebab berkat kata itu, perkampungan mendapat
pembenaran untuk digusur, taman disingkirkan, hutan digunduli, sawah ditimbun,
dan kuburan umum direlokasi. Melihat dampaknya yang besar, “kemajuan” tampaknya
memang memiliki “kekuatan” dalam “mengubah sejarah.”
Kita pun mungkin sepakat
bahwa bukan kemajuan seperti itu yang kita kehendaki, maka seperti yang mereka
lakukan: perlu menyempatkan mundur untuk maju. Saat mundur, beruntung kita
masih diberi kesempatan untuk menemukan tetekon
yang dikumpulkan JS. Terimakasih Pak Jakob Sumardjo.***
Disampaikan pada Pekan Literasi Asia-Afrika ke-4, 19 Maret 2017, di R Audio Visual Museum KAA, Bandung.
[1] Pikukuh Baduy: buyut nu dititipkeun ka puun / nagara satelung puluh telu / bangsawan
sawidak lima / pancer salawé nagara / gunung teu meunang dilebur / lebak teu
meunang diruksak / larangan teu meunang ditempak / buyut teu meunang dirobah / lojor
teu meunang dipotong / pondok teu meunang disambung // nu lain kudu dilainkeun
/ nu ulah kudu diulahken / nu enya kudu dienyakeun // mipit kudu amit / ngala
kudu ménta / ngeduk cikur kudu mihatur / nyokél jahé kudu micarék / ngagedag
kudu béwaré // nyaur kudu diukur / nyabda kudu diunggang / ulah ngomong
sagéto-géto / ulah lemek sadaék-daék / ulah maling papanjingan / ulah jinah
papacangan / kudu ngadék sacékna / nilas
saplasna // akibatna // matak burung jadi ratu / matak édan jadi ménak / matak
pupul pangaruh / matak hambar komara / matak teu mahi juritan / matak teu jaya
perang / matak éléh jajatén / matak éléh kasaktén
Komentar
Posting Komentar