Harry Roesli Sang Jenius Monumen Musik Indonesia

Catatan: Herry Dim


Prakata

SEKIRA setahun sebelum wafatnya Harry Roesli (1951-2004), ia sudah berkata: "Herr, urang rek nerbitkeun buku kandel, moal kurang ti 200 halaman tapi kabeh halamanna kosong kecuali prakata jeung sambutan" (Herr, saya hendak menerbitkan buku tebal, tidak kurang dari 200 halaman tapi semua halamannya kosong kecuali prakata dan tulisan sambutan).
"Maksud Mas Harry?" Demikian sontak saya bertanya.
"Enya, engke eusian ku maneh" (Ya, nanti kamu yang mengisi), jawabnya.
Pernyataannya sangat serius. Itu di luar kebiasaan Harry Roesli yang biasanya penuh dengan canda. Maka saya dan Sulasmoro (panggilannya Moro) menanggapinya dengan serius pula.
"Moro, gawekeun desain jeung dummy-na ku maneh" (Moro, kerjakan desain dan dummy-nya sama kamu), tandas Harry Roesli.
Sejak itu Moro ditemani Rahadian P. Paramita mulai bekerja dan saya mulai menulis seperti yang diminta almarhum. Selang sekira tiga bulan kemudian, "buku kosong" rampung dikerjakan bahkan telah dicetak dengan judul "Tulisan di Atas Angin" pada September 2004. Tapi, Harry Roesli masih kurang "sreg" terutama dengan sampulnya.
"Alus, tapi hideung we kabeh" (bagus, tapi bikin hitam saja semua), kata Harry Roesli sambil menunjuk ilustrasi gambar tengkorak yang kala itu diberi warna perak.
Tak ayal Sulasmoro pun bekerja lagi hingga dummy baru pun selesai dikerjakan. Harry Roesli sempat melihat dummy terakhir, ia suka, namun tak sempat sampai dicetak. Harry Roesli meninggal pada 11 Desember 2004.
Buku tersebut baru dicetak setelah wafatnya Harry Roesli, sehubungan dengan itu judulnya pun diubah menjadi "Kesaksian Harry Roesli 1951-2004," diterbitkan oleh Yayasan Harry Roesli sekira bulan Februari 2005.
Setiap kali saya melihat boks buku tersebut di rak perpustakaan pribadi saya, selalu teringat pernyataan Harry Roesli: "Enya, engke eusian ku maneh."
Padahal, sejak itu terucap hati saya selalu berkata: "Apakah saya akan sanggup?"
Nyatanya saya tidak pernah sanggup mengingat begitu luasnya facet kehidupan Harry Roesli, di sisi lainnya adalah perasaan "siapa tega mengotori halaman-halaman putih bersih itu?"
Maka, sepanjang membuat tulisan pendek untuk menyambut cetak-ulang album "Harry Roesli - Philosophy Gang” ini, selalu saya bayangkan sedang mengisi halaman-halaman di buku "Kesaksian Harry Roesli 1951-2004." Tentu saja teramat jauh dari cukup untuk jumlah halaman yang tak kurang dari 300 itu. Tapi, inilah yang bisa saya perbuat.
"Semoga Mas Harry tersenyum di sorga, ya, Mas."

Tulisan di bawah ini, sesungguhnya dipersiapkan untuk terbit pada 2017, yaitu sebagai pengantar terbitnya edisi cetak ulang "Harry Roesli - Philosophy Gang.” Namun, bersamaan dengan proses penulisan pun sedang hangat-hangatnya rencana “Reuni DKSB” yang akan dilaksanakan pada 17 Desember 2016, maka tak tertahankan untuk ikut menyambut dengan mempublikasikannya di media blog ini. (HD)

**

HARRY Roesli adalah monumen penting bagi musik Indonesia. Sejak ia menerbitkan album pertamanya "Harry Roesli - Philosophy Gang” (1973) hingga ia meninggal pada 11 Desember 2004, tidak ada satu pun pemusik Indonesia lainnya yang melakukan penjelajahan musikal seluas dirinya. Bahkan hingga "Harry Roesli Philosophy Gang” ini diterbitkan ulang pada 2017 ini, bisa dibuktikan hanya Harry Roesli yang begitu merdeka melakukan lintasan musikal dari gaya musik populer hingga musik kontemporer, ia memasuki dunia musik industri tapi ia pun dengan keliaran dan kemerdekaannya menggubah sejumlah musik serius yang tak wantah bagi kalangan awam. Hanya Harry Roesli pula yang akrab dengan musik jalanan tapi fasih di tataran perbincangan musik akademik. Tembok kaku pembatas antara musik tradisi dan musik baru pun ditabrak dan dibongkarnya, maka ia tercatat sebagai musisi yang paling awal mempertemukan dan membangun kecenderungan musik berlatar tradisi dan musik baru seperti terbukti di dalam “Titik Api” (1976). Perlu pula dicatat, Harry Roesli adalah musisi yang paling tegar melakukan opisisi terhadap kekuasaan yang tidak beres, setidaknya terbukti dengan rekaman L.T.O. (Lima Tahun Oposisi, 1978), Cuaca Buruk (1992), Cuaca Lebih Buruk (1992), dan Politisi Busuk (2004). Bahkan jauh sebelum ia meneruskan kuliah musik di Rotterdam Conservatory di Belanda (1981) dan meraih gelar profesor di bidang musik, banyak “kenakalan” Harry Roesli yang ditandai dengan ngotak-atik wilayah tonal sekaligus atonal. Dunianya demikian luas maka ia pun bersahabat bahkan kerap membuat karya bersama dengan pelukis atau pun perupa pada umumnya, penari, sastrawan, teater, aktivis, rohaniawan, hingga anak jalanan.
Seluruh perjalanan Harry Roesli  tak bisa lepas dari monumen awalnya yaitu album "Harry Roesli - Philosophy Gang” (HR-PG), sebuah album piringan hitam yang diproduksi Robert Wong Jr. di Singapura. Album HR-PG dirilis pada tahun 1973, tapi menurut keterangan Harry Roesli sendiri atau pun sahabatnya yang tergabung di dalam HR-PG, Harry Pochang, album tersebut telah dipersiapkan tak kurang dari tiga tahun sebelumnya. “Lagu Malaria dan Roda Angin, misalnya,” kata Harry Pochang, “itu sudah dimainkan di berbagai panggung dan kampus-kampus sejak tahun 1970an.”
HR-PG artinya dikerjakan Harry Roesli ketika masih berusia antara 19 - 22 tahun. Di usia semuda itu dan di zaman musik Indonesia masih sedang bersolek, Harry Roesli telah melangkah begitu jauh meninggalkan kecenderungan umum musik Indonesia ketika itu, demikian halnya di tataran dunia mungkin hanya bisa disejajarkan dengan “We're Only In It for the Money”nya Frank Zappa yang sampul albumnya saling sindir atau saling melakukan parodi dengan “Sgt. Pepper's Lonely Hearts Club Band”nya the Beatles.
Penamaan kelompoknya yaitu “Philosophy Gang,” jelas merupakan nama kelompok musik yang tak lazim ketika itu di Indonesia bahkan di dunia, mengingat baru pada tahun 2000an ada semisal sebuah kelompok yang bernama “The Doctors of Philosophy,” yaitu kelompok musik yang mengacu kepada gaya musik “Grateful Dead,” didirikan pada tahun 2010 dan baru merilis album pada 2016.
“Philosophy Gang” bukan sekadar nama kelompok musik tapi secara mendasar Harry Roesli memang menghampiri filsafat atau radix pemikiran baik dalam teks (lirik lagu) atau pun musikalitasnya. Dalam wujud teks atau lirik, tegas sekali di dalam lagu “Roda Angin,” di sana  terdapat pertanyaan yang sangat mendasar tentang kemanusiaan. Lagu tersebut menunjukan bahwa di atas fisika atau fakta-fakta yang bisa didengar, terlihat, dan teraba adalah metafisika yaitu hal yang tidak berwujud tapi bisa dirasakan, itulah hal mendasar yang sejatinya hanya milik manusia dan energi keillahian. Pertanyaan “apakah gagal?” di dalam lagu “Roda Angin” itu akan mendapatkan jawaban “ya” jika kehidupan hanya diukur dengan hal-hal yang bersifat fisik (terdengar, terlihat, dan teraba), tapi lain halnya jika metafisika bergerak sebab di sana terdapat hal-hal yang tak terdengar, tak tampak, dan tak teraba semisal cinta kasih, imajinasi, hingga spiritualitas. Metafor “hangat badan” jika kita tafsirkan sebagai fisika yang sumbernya tak lain adalah di kedalaman “kehangatan jiwa,” maka kehangatan tersebut akan berguna sekali bagi pendamai api kemarahan yang menyala-nyala sekalipun.


Dekonstruksi ala Harry Roesli          

Mari sejenak kita perhatikan bagian ujung atau katakanlah coda dari lagu “Peacock Dog,” di sana ada suara “i i i i iii” dari vokal Harry Roesli sendiri. Selintas mungkin saja terkesan “iseng,” tapi itu sesungguhnya merupakan cikal-bakal kecenderungan Harry Roesli yang senantiasa selalu ingin “mengganggu” struktur bangunan setiap karya yang diciptakan atau pun menyisipkan nomor “menyimpang” di dalam suatu album. Kecenderungan seperti itu menempatkan Harry Roesli menjadi seorang yang di kemudian hari dikenal dengan istilah dekonstruksionis.
Jauh masa sebelum istilah dekonstruksi kita kenal dan barangkali pula masih sedang dituliskan oleh Derrida,[1] Harry Roesli memang memiliki kebiasaan untuk “mengganggu” apapun semisal menertawakan kelakuan, pekerjaan, hingga karya yang pernah dibuatnya sendiri. Menertawakan adalah cara Harry Roesli untuk membongkar struktur bangunan pikiran, konsep tertentu, atau pun karya seni yang pernah ada. Waktu itu istilah dekonstruksi atau gerakan pemikiran pasca-strukturalis belumlah dikenal di Indonesia, Harry Roesli sendiri tak memiliki itikad untuk membangun konsep filsafat pasca-modern, kecuali gairah terdekat sebagai sosok anti-kemapanan seperti yang begitu sering dibincangkan bersama penulis. Gairah itulah yang mendasari sifat progresifnya sehingga ia tidak bisa menerima hal-hal yang bersifat stagnan atau status-quo, dan itu tercermin di setiap karya musik, perilaku, gerakan sosial, hingga gerakan-gerakan politik non-partisannya.
Kecenderungan bersikap pasca-strukturalis telah tercermin pula di dalam album perdananya ini. Silakan perhatikan pola susun atau struktur puitika pada lagu “Malaria.” Lagu tersebut tidak disusun dengan pola kausalitas linear, antara bait ke-1 dan ke-2 tak saling menjelaskan secara linear, demikian pula bait-bait selanjutnya seperti tak saling-berhubungan. Tapi, anehnya, manakala mengikuti “bunyi” atau kalimat musikal (phrase), kita akan mendapatkan nada-nada yang saling berhubungan, kata-kata yang liar dan tidak saling berhubungan tersebut berlompatan, saling-mengikat, dan satu sama lain menjadi saling berhubungan semisal menjadi kalimat-kalimat:
Kau bersedih dan hanya terus menangis dengan tangis yang palsu sebab air mata dan tawamu yang kau paksa. Kepura-puraan seperti itu bagaikan seekor monyet bergaya. Hidup pun hanya dipenuhi bualan tanpa perbuatan. Itu hidup yang kosong, hidup seorang pengecut. Tapi jika itu pilihan hidupmu, silakan lanjutkan saja sebagai nyamuk malaria. Terbang ke mana-mana hanya menebar penyakit.”
Cara ungkap bahasa seperti itu berbeda sekali dengan cara bercerita sang kakek yaitu Marah Roesli (1889 - 1968). Seperti pada umumnya sastra Balai Pustaka, Marah Roesli dalam menulis prosa atau pun sejumlah kecil puisinya itu dengan pola strukturalis, menjaga betul keteraturan dan stabilitas dalam sistem bahasa; sementara cucunya, yaitu Harry Roesli, memperlakukan bahasa dengan liar dan tak stabil seperti halnya kalangan pascastrukturalis. Bahkan dengan sastra sejaman, Harry Roesli cenderung hanya bisa berdampingan dengan cerpen-cerpen Danarto yang terkumpul di dalam “Godlob” dan karya-karya Putu Wijaya.[2]         
Ciri-ciri keliaran dan sikap dekonstruktif Harry Roesli terhadap sistem bahasa, itu terus berkembang di sepanjang hidup dan di sepanjang masa kreatifnya. Kata-kata dan sistem bahasa pertama sekali tidaklah diperlakukan sebagai penghantar ide-ide, terkadang dibebaskan pula dari makna leksikal; bersamaan dengan kekuatan musikalnya, kata-kata lebih diperlakukan sebagai kekuatan bunyi. Kelak akan tegas sekali terasa di dalam komposisi-komposisi seperti “Orang Basah,” “Samba Setan,” “Tiga Bendera,” “Bharatayudha,” dan “Lagu Zappa Buat Zappa.” Di sana bunyi kata-kata lebih berfungsi perkusif sekaligus pola nada, siapapun seperti dipersilakan untuk “mendengar” terlebih dahulu seperti halnya jika kita memperlakukan musik murni, baru kemudian (jika berkehendak) kita bisa mengurai kata demi kata, kalimat demi kalimat, hingga terbentuk struktur isi pikirannya.
Itu semua hanya terjadi pada seorang jenius bernama Harry Roesli, dan segalanya dimulai dengan album "Harry Roesli - Philosophy Gang” yang kini Anda miliki.***  
  
----------
(Herry Dim, pelukis, sahabat kental Harry Roesli yang dijalin sejak terbitnya album “Titik Api” hingga mengantar pemakamannya di Bogor pada 11 Desember 2004)




[1] Dekonstruksi, seperti dicetuskan Jacques Derrida mulai pada perkiraan tahun 1990an, adalah cara menempatkan diri sebagai oposisi terhadap diskursus apapun. Ini merupakan jalan kritisnya terhadap teori-teori strukturalis, maka buhul pemikiran Derrida antara lain adalah pandangannya bahwa identitas yang terlihat itu sesungguhnya tak-esensial melainkan suatu konstruksi, karena berupa konstruksi-konstruksi maka hanya memproduksi rupa-rupa makna yang saling-mempengaruhi, jadi kenyataan yang kita lihat itu sebenarnya adalah rangkaian sistem yang terdiri dari tanda-tanda pembeda. Maka (inilah sikap dekonstruktifnya, hd), segala hal yang berlangsung di dalam sistem penanda dan tanda itu sesungguhnya tidaklah absolut, singkatnya bisa dan boleh (jika tidak dikatakan harus) diotak-atik.
[2] Godlob, kumpulan cerpen karya Danarto yang terbit tahun 1975 tapi beberapa di antaranya pernah terbit di dalam majalah “Aktuil” menjelang tahun 1970an. Harry Roesli sangat mengagumi karya-karya Danarto tersebut.  Sementara dengan Putu Wijaya di kemudian hari menjadi sangat bersahabat dan menggarap karya bersama-sama.   

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Paradigma Budaya Eks Palaguna

Tak Ada Lagi "Awi jeung Gawirna," Banjir dan Longsor pun Berdatangan